Tapi, kita hidup di zaman yang harus sekolah. Justru itu sekolah sudah candu. Tak ada orang mau dibilang tidak sekolah. Pakai baju seragam dan memikul buku cetak yang sudah ditentukan penerbit.
Dan begitu gemuruh pendidikan hari ini. Sekolah harus bergedung tegak, supaya kelihatan modern. Bagimana sekolah rimba? Justru tertinggal, pasrah dengan kemajuan. Kalau mereka memang tidak tahu kemajuan.
Lebih baik sekolah rimba, belajar memahami keterbatasan. Seolah-olah, pendidikan kota, merasa mapan dengan kelebihan-kelebihan.
Ada dua anak rimba, yang sehari-hari tidak pernah mendengar apa itu kemajuan. Hampir saja salah satu dari mereka datang melihat kota. Karena kemajuan, mereka memilih: lebih pantas mundur.
Sekolah di kota sedang berlari dalam script kemajuan. Keresahan anak di pinggiran dibunuh oleh script itu.
Anak sekolah menyeberang (Foto: ANTARA FOTO/Jojon) |
Biaya akan lebih memeras keringat orang tua. Dan tanpa itu, berapa dari anak-anak di kota harus putus sekolah. Kebijakan mengharuskan sekolah mahal: Maaf, tidak terbuka untuk umum.
Apa betul, sekolah masih diharuskan membela akal sehat? Yang mencemaskan adalah, pendidikan itu bukan lagi bagaimana merangkul tapi lebih bagaimana menyingkirkan. Agaknya, kebijakan pendidikan merasa benar membela gairah pasar. Tak salah, kalau sekolah dituduh Ivan Illich: sudah jadi jalan tol, hanya berlaku bagi yang punya mobil.
Meresahkan untuk orang memperkarakan kemajuan di situasi pendidikan hari ini. Apa yang dicemaskan terjadi hari ini. Sekolah dan keganjilannya menuntut kemajuan, di sisi yang tidak kentara, mendukung keyakinan produksi. Paradoks kemajuan itu yang jadi satu-satunya ukuran manusia. Tapi, bagaimana kemajuan diukur, sedangkan sekolah berada satu jengkal dengan pasar.
Keresahan macam apalagi hari ini. Guru-guru di daerah resah dengan nasib. Orang tak mau ke pedalaman karena perkara dihargai. 1 bulan tanpa honor, atau 100 ribu per bulan. Berapa gunung tidak memisahkan sekolah dengan ranjang rumah mereka. Sebenarnya, mereka sedang ingin perasaan dari kebijakan. Benar, kita belajar dari perasaan Kaisar Jepang, Hirohito. Saat perang dunia II, 7 Desember 1941, sisa-sisa kejahatan dari perang itu mengharuskan Jepang luka. Hiroshima dan Nagasaki tak lebih dari kota yang pengap dengan nuklir. Petaka itu datang membalas penyerangan sebelumnya ketika Jepang mengangkut dendam ke Pearl Harbour. Ribuan manusia gugur, termasuk nasionalis.
Pasca insiden itu, kaisar Hirohito bertanya: berapa guru yang masih hidup? Perang tidak harus dilawan dengan perang. Lebih baik berperang melawan kebodohan, ketertinggalan.
Sebaik apa sekolah, tanpa meletakan perasaan. Sebaik apa sekolah, kalau penjajah sudah mengambil mereka membangun Belanda. Setiba hari senin, kepintaran itu harus dibeli kembali oleh saudara sendiri.
Bandung, 2017
*Everd Scor Rider Daniel, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, Univ Padjadjaran Bandung