Perayaan 1 Desember dan Kekerasan di Papua

Kolumnis: Basillius Triharyanto
Parade PVK  di Hollandia 1961


Tanggal 1 Desember bagi orang Papua adalah kalender penting dalam perjuangan Papua yang terus diperingati setiap tahun. Momen bersejarah pada 1961 untuk kali pertama Parlemen Papua Barat, di bawah administrasi Belanda, mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol pengakuan status berdirinya negara Papua Barat. 

Sejak itu bendera Bintang Kejora dikibarkan di seluruh wilayah Papua Barat berdampingan dengan Bendera Belanda, hingga Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua Barat kepada UNTEA pada 1 Oktober 1962, lalu ke pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963. UNTEA adalah mekanisme internasional yang melibatkan PBB untuk menyiapkan satu jajak pendapat apakah rakyat Papua memilih memisahkan diri atau integrasi dengan Indonesia. 

Cerita untuk menuju jajak pendapat itu—orang Indonesia menyebutnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sementara orang Papua menyebut 'Act of No Choice'—tidak bersih dari manipulasi dan intimidasi; salah satunya bisa Anda baca dari disertasi John Saltford pada 2000. 
Maka, sejak administrasi Papua dikendalikan oleh pemerintah Indonesia, pengibaran bendera Bintang Kejora berujung pada tindakan kekerasan, teror, penangkapan, dan penyiksaan. Orang Papua yang diketahui mengibarkan bendera Bintang Kejora bernasib buruk karena akan mendapatkan perlakuan sewenang-wenang dari pihak keamanan Indonesia. 

Musim Kekerasan

Bak wabah, jelang Desember, peristiwa kekerasan lazim menggilas Tanah Papua. Kabar teror, kekerasan, dan penangkapan aktivis dari hari ke hari dalam minggu akhir November mulai bermunculan. Di antaranya dialami dua aktivis dari Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa). 

Riki Karel Yakarmilena, aktivis Sonamappa, ditangkap oleh aparat keamanan sesudah pulang mengikuti aksi demonstrasi Front Rakyat Papua Tutup Freeport di depan gedung DPRP Jayapura pada 23 November 2017. Riki dituduh sebagai orang yang menggerakan aksi pengibaran benderan Bintang Kejora saat demonstrasi itu. 

Enam hari kemudian, sekitar pukul 03.30, Ketua Umum Sonamappa Christian Albertho Claus Pepuho dikeroyok oleh sekitar delapan orang di sekitar jalan Padang Bulan Ale-ale. Ia diserang dan dipukuli oleh sekelompok orang yang diduga terlatih hingga wajahnya luka memar. Sonamappa, organisasi yang dipimpinnya, akan menyiapkan kegiatan politik damai memperingati 1 Desember 2017. 

Lazimnya, eskalasi keamanan memang ditingkatkan jelang peringatan 1 Desember. Aparat keamanan Indonesia mempersiapkan kekuatan dan siap siaga untuk “mengantipasi” peringatan hari kemerdekaan Papua. Tak melulu aksi demonstrasi publik, kadang masyarakat Papua memperingatinya dengan berdoa dan beribadah. 

Pada Oktober hingga pertengahan November 2017, suhu konflik di Tanah Papua naik. Penyebabnya adalah “kontak senjata” antara aparat keamanan Indonesia dan TPN-OPM di kawasan areal Freeport, Tembagapura, wilayah yang dianggap “vital” bagi pemerintah Indonesia. Baku tembak TPN-OPM dan aparat keamanan ini kembali terjadi setelah delapan tahun sejak Panglima Kodap III TPN-OPM Kelly Kwalik dieksekusi oleh Detasemen Khusus 88 di Gorong-Gorong Timika pada 16 Desember 2009. 

Kematian Kelly Kwalik saat itu adalah duka mendalam pada bulan suci jelang perayaan Natal di Tanah Papua. Kematiannya tragis: seorang panglima perang, yang dalam kondisi sakit, harus tewas dalam operasi militer. 

Namun, kekerasan di Papua tidaklah sebatas terjadi di bulan Desember. Sesungguhnya, praktik kekerasan, teror, intimidasi, penangkapan terhadap warga Papua terjadi sepanjang tahun. Seorang peneliti menyebut Tanah Papua sebagai “teater penyiksaan”. 
Laporan koalisi masyarakat sipil Orang Papua di Balik Jeruji (Papuans Behind Bars) menemukan 1.083 orang ditangkap terkait aksi demonstrasi pada 2015, lebih dari separuh terkait demonstrasi pada 1 Desember atau 1 Mei (orang Papua memperingatinya sebagai “hari aneksasi”). Terkait 1 Desember, ada 355 orang ditahan, empat orang meninggal karena penembakan dan penyiksaan, dan sekitar 145 orang terluka. 

'Papua Fobia'

Pendekatan keamanan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi persoalan di Papua tak berdampak signifikan bagi penyelesaian Papua, yaitu eksploitasi ekonomi, kejahatan kemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan berkembangnya ideologi nasionalisme Papua pro-kemerdekaan. 

Di era Presiden Joko Widodo, Papua mendapatkan perhatian melalui pembangunan infrastruktur. Jokowi bahkan dianggap berani meresmikan proyek-proyek pembangunan jalan di daerah konflik, seperti di Papua. 

Pada Mei 2015 Presiden Joko Widodo membebaskan tahanan politik Papua dan mengumumkan bahwa wartawan asing bebas masuk ke Papua, seperti daerah lain di Indonesia. Langkah Jokowi ini rupanya diganjal oleh parlemen dan sejumlah kalangan konservatif di Indonesia, yang menolak pembebasan tapol dan akses wartawan asing. Dalih mereka: Papua adalah urusan dalam negeri, dan laporan-laporan soal kondisi kemanusiaan di Tanah Papua dianggap “menginternasionalisasi” masalah Papua. 

Sesudah peristiwa pembebasan “sandera” di Tembagapura, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengungkapkan rencana “operasi opini” untuk menangkal isu-isu negatif yang mengkritisi program pembangunan pemerintah, atau reaksi diplomat yang menyangkal pelanggaran HAM Papua dalam sidang PBB. 

Ketakutan terhadap Papua—alias “Papua fobia”—tampak dalam upaya pembatasan berekspresi dan berpendapat, seperti melokalisir demonstrasi mahasiswa di sejumlah kota di Pulau Jawa, Papua, dan Sulawesi. Intimidasi aparat keamanan terhadap mahasiswa Papua dengan cara mendatangi dan memeriksa asrama-asrama mahasiswa Papua di Jawa, serta melarang kegiatan-kegiatan politik mahasiswa Papua. 

Pendekatan Non-Kekerasan

Konflik Papua sudah berlangsung beberapa dekade, seperti dialami Timor Timur dan Aceh. Dua wilayah itu telah selesai, setidaknya secara politik, dengan mengakomodasi status sebagai otonomi khusus dan negara merdeka Timor Leste. 

Pada 2001, Papua diberikan status otonomi khusus, tetapi tak juga bisa menyelesaikan persoalan konflik, pelanggaran HAM, dan meredam suara menuntut kemerdekaan. Sekitar lima tahun terakhir, nasionalisme Papua semakin menguat yang dikembangkan oleh kaum muda terdidik, yang punya pengetahuan dan kesadaran yang baik tentang sejarah Papua. 

Seiring perkembangan nasionalisme Papua, pemerintah Indonesia perlu mengubah pendekatan keamanan dengan pendekatan non-kekerasan. Pendekatan keamanan telah berlangsung sejak 1960-an dan menuai kecaman keras lantaran persoalan kemanusiaan dan segudang pelanggaran hak asasi manusia. 

Sampai kini Mama-Mama Papua tetap menjahit noken motif Bintang Kejora, orang muda tambah berani masuk bui, dan tingkat kepercayaan orang Papua terhadap Jakarta rendah. 

Sebagaimana tergambar dalam ungkapan orang Papua: “Kitorang bukan masalah ekonomi, kitorang bicara kami pu tanah.” Kami tidak bicara masalah ekonomi, kami bicara soal tanah Bangsa Papua. 

*) Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi | Sumber:  tirto.id.

Disqus Comments