Ilustrasi makan korban penembakan Paniai di Lapangan Karel Gobai, Paniai - Jubi. Dok |
“Untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Papua bukannya berdampak pada penciptaan rasa aman, tetapi justru berujung pada terjadinya berbagai bentuk tindak kekerasan,” kata Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits B Ramandey, Sabtu, (09/12/2017).
Sejumlah kekerasan yang terjadi di Papua belum lama ini terjadi saat mogok kerja di kawasan tambang emas di Tembagapura, Kabupaten Mimika, serta teriadinya berbagai peristiwa penembakan.
Kondisi tu tak sesuai dengan rakyat Papua terdiri dari berbagai macam suku budaya serta kekayaan hasil bumi. “Tetapi tidak sebanding dengan kondisi kehidupan rakyat Papua yang masih keterbatasan,” kata Frits menambahkan.
Menurut dia, kemiskinan pengangguran, dan keterbelakangan masih menghiasi kehidupan rakyat Papua sampai dengan saat ini. Dampaknya rakyat Papua semakin tak percaya kepada pemerintah yang kebijakannya dinilai deskriminatif tak jarang menimbulkan berbagai gejolak penolakan.
Selain itu Frits menuding penentangan dan penolakan yang dilakukan rakyat Papua kemudian dicap sebagai tindakan makar, dengan disikapi dengan tindakan represi yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa manusia meninggal maupun yang luka-luka.
"Kekerasan demi kekerasan, selalu saja terjadi bagai perjamuan tanpa akhir, baik kekerasan yang menjadi korban adalah penduduk sipil maupun, yang menjadi korban aparat keamanan,” katanya.
Ia menyebutkan sejumlah dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, antara lain, konflik pilkada, kekerasan bersenjata di wilayah pegunungan dan Tembagapura, konflik agraria antara masyarakat adat dan korporasi,dan keberlangsungan nasib ribuan buruh karyawan PT Freeport Indonesia, serta situasi kesehatan dan pendidikan di Tanah Papua yang belum baik.
"Selain itu belum tuntasnya tiga kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Wamena, Wasior dan Paniai. Itu semua adalah berbagai bentuk dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebagaimana diberitakan di dalam berbagai media," katanya.
Sementara itu masyarakat kabupaten Paniai, Papua, berencana memboikot pemilihan umum tahun 2019, karena kecewa terhadap pemerintah yang dinilai abai terhadap insiden Paniai berdarah, 8 Desember 2014 lalu.
"Sejak terjadinya kasus ini, masyarakat Paniai tak percaya kepada pemerintah Indonesia yang seharusnya menyelesaikan kasus melalui lembaga Komnas HAM RI,” ujar tokoh pemuda Paniai, Tinus Pigai, kepada Jubi, Jumat, (8/12/2017).
Tinus menilai negara harus bertangung jawab, apa lagi sudah ada undang-undang nomor 39 tahun 1999, tentang HAM dan undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
"Mandeknya proses oleh pemerintah, maka sekali lagi kami siap boikot Pemilu," ujar Tinus menambahkan.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang diam tak penegakan hukum tak melindungi bangsa Melanesia di tanah Papua. Kejadian yang terjadi tepat 8 Desember 2014 lalu itu menimbulkan orang siswa SMA masing-masing Yulianus Yeimo, Apinus Gobai, Simon Degei dan Alpius You tewas, serta 17 siswa lainnya luka-luka.
Menurut Tinus, kejadian itu secara nyata dilakukan secara terbuka oleh aparat gabungan TNI dan Polri di Lapangan Karel, Gobai. (*)
Sumber: http://tabloidjubi.com