Dari bandara Torea kami dijemput oleh sekumpulan taksi. Jangan salah ya, taksi di sini adalah angkutan umum L 300 atau carry. Taksi yang kami sewa bertrayek Fakfak – Kokas. Kami hanya singgah sebentar di kota Fakfak yang berbukit-bukit ini. Tujuan utama kami adalah ke distrik kokas yang letaknya sekitar 50 km dari kota. Fakfak merupakan salah satu kabupaten termaju di Papua di bidang infrastruktur. Jalan umum dari kota Fakfak ke distrik Kokas sudah beraspal, meskipun di beberapa bagian jalan ada yang berlubang dan terkena bekas longsor. Saya menaiki salah satu taksi di sebelah pak supir yang berasal dari Jawa. Sebut saja namanya pakdhe. Pakdhe sudah berada di Fakfak sekitar 7 tahun dan Ia merasa bahagia tinggal dan bekerja di sini. Ia bilang ketika bekerja di Jakarta, ia tidak mendapatkan apa-apa alias susah cari duit, sedangakan di sini peghasilannya lumayan sebagai sopir taksi. Keluarganya tetap tinggal di Jawa dan ia hanya sesekali pulang kampung. Ia bercerita kalau di sini tidak ada gap antara orang pemerintahan seperti pak camat atau kapolsek dengan masyarakat. Masyarakat bisa nongkrong dan ngobrol santai dengan mereka, tidak seperti di Jawa, katanya.
Selepas kota Fakfak jalan yang kami lewati berubah menjadi hutan belantara tak berbatas. Benar-benar cuma hutan dan tidak ada rumah satupun. Saya tidak bisa membayangkan kalau terjadi apa-apa di jalan saat malam hari atau saat sepi, siapa yang bisa menolong. Terkadang ada binatang liar seperti babi hutan atau rusa melintas di jalan, jadi pengemudi harus benar-benar berhati-hati. Pakdhe kemudian bercerita lagi tentang kelakuan orang lokal yang ketika mereka marah, mereka akan menebang kayu besar dan menghalangi jalan aspal. Meskipun marahanya terhadap keluarga sendiri. Ketika ada kayu besar melintang biasanya taksi dan mobil akan menunggu sampai kayu tersebut disingkirkan. Benar-benar cara marah yang aneh, batin saya. Marahnya ke siapa, efeknya ke orang lain. Tetapi memang begitulah orang Fakfak. Untung saja pas kami lewat pas tidak ada orang marah-marah :D. Pakdhe juga bercerita kalau pohon-pohon besar yang ditebang berupa kayu sengon dan kayu yang bernilai ekonomis di Jawa. Di Jawa mahal dan laku di jual, di sini cuma dibuang-buang, katanya. Indonesia memang paradoks, batin saya, masing-masing daerah memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing, tetapi terkadang belum bisa saling menutupi dan membantu. Coba saja kalau kayu-kayu tersebut dimanfaatkan di daerah lain, mungkin akan lebih berguna.
Taksi melaju dengan lancar, bebas hambatan dan tanpa macet :D memasuki sebuah distrik yang mempunyai sebuah air terjun di pinggir jalan. Kami berhenti sebentar untuk sekedar beristirahat dan foto-foto. Namanya adalah air terjun kayuni. Kami hanya bisa menikmati air terjun ini dari jarak beberapa puluh meter saja. Tampaknya air terjun itu menjadi waterboom bagi anak-anak kampung setempat. Di sepinggir jalan aspal, tampak sesuatu berwarna merah dijemur diatas alas karung. Pakdhe bilang itu adalah bunga pala yang sebenarnya adalah selaput biji pala yang merukapan komoditas utama kabupaten Fakfak. Hanya dengan dua sampai tiga kali panen pala dalam setahun, masyarakat Fakfak bisa menghidupi keluarga selama setahun. Terbayanglah di benak saya betapa mahal harga rempah-rempah tersebut di sana. Saya excited untuk mendengar lebih banyak lagi cerita tentang pala di Fakfak. Setelah sepanjang jalan hanya melihat hutan lebat, dari dalam taksi saya bisa melihat lautan lagi. Sampailah kami di kokas. Saya akan tinggal di distrik ini selama seminggu.
Sumber Cerita dari Kelanakecil