Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengungkapkan rencana Presiden Joko Widodo untuk menghentikan program transmigrasi ke Papua sebenarnya sudah dilakukan sejak 15 tahun lalu.
“Tadi sudah minta ke Gubernur Papua agar dihentikan dulu transmigrasi ke Papua karena menimbulkan masalah sosial ekonomi terhadap masyarakat Papua,” ujar Jokowi seperti disampaikan anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis, 4 Juni 2015.
Saat itu, kebijakan transmigrasi reguler dihentikan setelah adanya konflik horizontal yang terjadi di berbagai daerah. “Transmigrasi reguler di Papua telah diberhentikan pada tahun 2000 atau 15 tahun yang lalu oleh Menakertrans Ir. Alhilal Hamdi dimana saat itu saya menjadi staf khusus Menteri,” ujar Natalius
Natalius menyebutkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1971-2000 migrasi masuk ke Papua mencapai 719.866 jiwa. Sementara penduduk yang keluar Papua hanya 99.614. Setelah transmigrasi reguler dihentikan, maka pemerintah kemudian mengubah model transmigrasi menjadi berbasis Kerja sama Antar Daerah (KSAD).
Tidak seperti transmigrasi reguler di mana pemerintah pusat berwenang menentukan tempat transmigrasi, kerja sama antar daerah didasarkan permintaan daerah. “Tapi untuk Papua, terbentur dengan UU 21 tahun 2003 tentang Otsus yang mengatakan kebijakan transmigrasi dilakukan bersarkan perdasus serta setelah penduduk Papua sudah mencapai 25 juta jiwa,” kata dia.
Dengan demikian, kata Natalius, jika Presiden ingin menghentikan transmigrasi secara keseluruhan, sebaiknya dilakukan melalui pengaturan mobilitas penduduk yang baik. Persoalan transmigrasi selama ini, terjadi karena adanya sikap diskrimantif terhadap penduduk asli.
“Kaum migran di Papua bersama anggota TNI dan Polri telah terbentuk karakter eksklusif dan diskriminatif yang cenderung tidak menyukai orang Melanesia (Melanesiaphobia) dan inilah salah satu faktor kegagalan integrasi sosial di Papua,” ucap Natalius.
Dia menuturkan, pertimbangan transmigrasi reguler dihentikan karena ada penolakan yang kuat hampir di seluruh daerah Indonesia. Dampak penolakan itu memuncak saat muncul konflik berdarah di Sampit dan Sambas.
Bersamaan dengan itu, di Papua juga terjadi kasus Armopa Jayapura yang mengancam keberadaan warga transmigran. Alasan lainnya program transmigrasi ke Papua dihentikan ketika itu, lanjut Natalius, adalah jumlah transmigran yang semakin banyak di Bumi Cenderawasih.
“Tadi sudah minta ke Gubernur Papua agar dihentikan dulu transmigrasi ke Papua karena menimbulkan masalah sosial ekonomi terhadap masyarakat Papua,” ujar Jokowi seperti disampaikan anggota Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis, 4 Juni 2015.
Guru besar Universitas Pertahanan Salim Said mengatakan Jokowi mempunyai konsep yang jelas untuk membereskan berbagai persoalan di Papua, yakni pelibatan masyarakat Papua. Selama ini, kata dia, tak pernah ada konsep yang jelas untuk Papua.
“Akan ada rice estate yang melibatkan orang Papua. Persoalannya, selama ini dalam pembangunan, orang Papua tak dilibatkan. Jadi mereka terasing di kampungnya sendiri,” kata Salim.
Salim bersama kelompok Punakawan diundang makan siang bersama Jokowi. Dalam kesempatan tersebut, mereka berdiskusi berbagai hal, dari ekonomi, politik, hingga hukum. Selain Salim, hadir juga Jaya Suprana, Rizal Ramli, Rahardi Ramelan, Mahfud Md., Wardah Hafiz, Romo Sandiawan, dan Christianto Wibisono
Sumber : www.moslemforall.com