Senator Tanah Papua – Selama ini konsep pembangunan Indonesia terbilang keliru, sebab ritme kerja yang digunakan dalam pembangunan Indonesia, dimulai dari membangun kawasan barat nusantara. Hal ini bertentangan dengan konsep produktivitas jam kerja yang seharusnya dimulai dari kawasan paling timur Indonesia.
Berdasarkan zonasi waktu, produktivitas manusia Indonesia pertama kali terjadi di kawasan timur nusantara, ketika fajar pagi menyingsing untuk pertama kalinya di wilayah paling timur Indonesia, dalam waktu yang bersamaan kawasan barat masih terlelap dalam tidur/alam mimpi. Itulah sebabnya konsep pembangunan Indonesia bertentangan dengan kehendak alam.
Produktivitas manusia ditentukan oleh siklus alam, dimana secara biologis manusia memiliki keterbatasan kemampuan untuk terus beraktivitas. Hanya waktu yang bisa membatasi aktivitas manusia dan memberikan kesempatan pada tubuh untuk meregenerasi sel-sel yang rusak setelah beraktivitas seharian penuh.
Ketika sektor-sektor industri di Pulau Jawa masih vakum tanpa aktivitas yang biasanya ramai oleh para pekerja. Justru di ufuk paling timur Indonesia, aktivitas manusia dan para pekerja telah memulai aktivitas perekonomian. Namun produktivitas manusia-manusia yang terjadi di kawasan timur nusantara, tidak di dukung oleh kapasitas alat-alat produksi yang memadai (ketiadaan industri). Akibatnya aktivitas perekonomian yang telah lebih dahulu dimulai di kawasan timur, tidak berdampak apa-apa pada perekonomian Indonesia.
Rata-rata produktivitas jam kerja para pekerja di Indonesia dalam sehari berlangsung 7-8 jam, tergantung pada penetapan lama hari kerja. Jika lama hari kerja dalam seminggu sebanyak 6 hari maka jam kerja perhari dihitung sebanyak 7 jam, sedangkan apabila lama hari kerja dalam seminggu sebanyak 5 hari maka jam kerja perhari dihitung sebanyak 8 jam perharinya.
Jika konsep jam kerja tersebut diterapkan berdasarkan zona waktu yang dimiliki oleh wilayah Indonesia, maka sejatinya Indonesia memiliki tambahan produktivitas waktu kerja selama 2 jam, sehingga waktu kerja dalam sehari dapat bertambah menjadi 9 jam (untuk jam kerja standar 7 jam/ 6 hari kerja) dan bertambah menjadi 10 jam (untuk jam kerja standar 8 jam/ 5 hari kerja). Hal ini disebabkan karena, ketika jam kerja di kawasan timur “Tanah Papua” telah dimulai pada jam kerja pertama, maka dikawasan Indonesia tengah dan barat belum memulai jam kerjanya.
Selanjutnya memasuki jam kerja kedua di kawasan timur “Tanah Papua”, maka dikawasan Indonesia bagian tengah baru memulai jam kerja pertamanya, sedangkan dikawasan Indonesia bagian barat belum memulai jam kerjanya. Hingga dimulainya jam kerja pertama di kawasan barat Indonesia, jam kerja di kawasan timur telah berlangsung selama 3 jam, dan bagian tengah Indonesia telah berlangsung selama 2 jam kerja.
Dengan demikian produktivitas jam kerja diseluruh wilayah nusantara selama seminggu dapat mencapai 50 jam kerja (untuk 5 hari kerja) dan 54 jam kerja (untuk 6 hari kerja). Namun pada kenyataannya keunggulan produktivitas jam kerja yang dimiliki oleh wilayah Indonesia tidak dapat dimaksimalkan, karena fokus pembangunan Industri-industri Giant yang hanya berpusat di pulau Jawa.
Diversitas keunggulan perekonomian yang dimiliki oleh setiap daerah diwilayah nusantara begitu sangat beragam dan kaya. Namun sentralisasi pembangunan Industri yang hanya berpusat di Pulau Jawa, menjadikan keunggulan produktivitas jam kerja tidak berdampak apa-apa pada perekonomian di seluruh kawasan nusantara.
Realitasnya, pulau Jawa memimpin pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia dengan capaian sebesar 57,65% kontribusi terhadap PDB nasional pada triwulan keempat Tahun 2014. Sedangkan untuk wilayah Provinsi Papua hanya sebesar 1,13% dan Provinsi Papua Barat sebesar 0,56%.
Secara berturut-turut perkembangan PDB Indonesia dalam periode Tahun 2014 sebagai berikut: PDB pada triwulan pertama mencapai Rp. 2.404 Triliun, PDB pada triwulan kedua mencapai Rp. 2.483 Triliun, PDB pada triwulan ketiga mencapai Rp. 2.739 Triliun, dan PDB pada triwulan keempat mencapai Rp. 2.690 Triliun. Dengan demikian, total kontribusi PDB nasional selama tahun 2014 mencapai Rp 10.316 Triliun.
Dengan demikian, kontribusi pulau Jawa terhadap pertumbuhan perekonomian nasional di tahun 2014 mencapai Rp 5.947 Triliun (berdasarkan kontribusi sebesar 57,65%). Dapat dibayangkan jika nilai perekonomian sebesar hampir 6 ribu Triliun tersebut dapat berkembang dikawasan timur Indonesia, dengan kesempatan pembangunan industrialisasi yang adil dan berpihak pada kekuatan perekonomian lokal di wilayah Timur, khususnya di Tanah Papua, maka secara agregat perekonomian nasional akan jauh berkembang dan kompetitif dibandingkan prestasi perekonomian yang bisa dicapai dihari ini.
Pembangunan perekonomian di Tanah Papua, seharusnya tidak lagi didasarkan pada konsep “bapak memberi hadiah kepada anak”, tetapi benar-benar membangun jantung perekonomian di wilayah Timur Indonesia dengan sepenuh hati. Satu-satunya cara untuk membangun wilayah Timur yaitu dengan memberikan kesempatan pada wilayah ini, untuk menerima prioritas investasi industri baik berbentuk PMA maupun PMDN, sebagai lokomotif penggerak perekonomian yang memajukan jantung perekonomian seperti yang telah terjadi di pulau Jawa.
Yang ironis dalam kebijakan Pemerintah Pusat, tarik ulur kepentingan Pulau Jawa atas industrialisasi Smelter PT. Freeport dengan nilai kontrak pembangunan smelter yang mencapai 115 Juta USD, justru semakin menambah industri-industri besar di pulau Jawa. Pemerintah Pusat dan para pemegang kebijakan nasional lainnya, masih mempolitisasi permintaan rakyat di Tanah Papua untuk membangun Smelter di tanahnya sendiri.
Dalam pandangan para ekonom dan strategi kebijakan pembangunan di Jakarta, merekatelah lama meyakini bahwa akar persoalan di Tanah Papua adalah ketimpangan distribusi pembangunan yang terjadi di daerah ini. Konsep sentralisasi pembangunan yang selama ini bertahan cukup lama di era pemerintahan orde baru, tidak dapat dengan mudah untuk dilepaskan.
Habituasi pendekatan keamanan dan konflik selalu menyertai kebijakan negara di atas Tanah Papua. Sehingga tujuan sebenarnya dari distribusi pembangunan tidak pernah sampai ke wilayah ini. Persoalan di Tanah Papua, tidak bisa dituntaskan dengan skema kebijakan anggaran belanja pemerintah saja. Sebab anggaran pemerintah hanyalah bagian dari partikel kecil dalam skala perekonomian global di Indonesia.
Bisa bandingkan PDB nasional di Tahun 2014 yang mencapai Rp 10.316 Triliun, bahkan nilai tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan alokasi belanja Pemerintah Pusat sendiri di APBNP Tahun 2014 yang mencapai 1.876 Triliun. Tentunya kontribusi sektor industri dan perekonomian swasta masih jauh lebih besar dibandingkan jumlah dana yang disediakan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, sejalan dengan konsep produktivitas jam kerja yang harusnya memanfaatkan kelebihan yang dimiliki oleh wilayah Timur, dan potensi industrialisasi yang seharusnya berpihak pada penguatan pembangunan di kawasan Timur, maka sudah sepantasnya strategi pembangunan nasional Indonesia harus di desain kembali, dengan mereposisi kembali pembangunan nasional dari kawasan timur menuju kawasan barat pulau nusantara.
Sumber : willemwandik.com