Wakil Presiden yang juga Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla (kedua kanan) bersama Isteri Mufidah Jusuf Kalla (kanan) dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Maroef Sjamsuddin (kedua kiri) mengikuti jalan sehat Hari Donor Darah se-Dunia di Jakarta, Minggu (14/6). Peringatan Hari Donor Darah se-Dunia tahun ini diselenggarakan dengan tema ´Terima Kasih Telah Menyelamatkan Nyawaku´. (ANTARA) |
JAKARTA, - Pekan lalu PT Freeport Indonesia telah menyetujui perubahan status dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kendati berubah, sumbangan Freepot buat pembangunan Papua diragukan.
Direktur Pusat Studi Sosial dan Politik (PUSPOL) Ubedilah Badrun mengatakan lebih dari 50 tahun PT Freeport tidak mampu membangun Papua secara merata dan efektif namun sebaliknya memicu konflik sosial di masyarakat. "Freeport masih memiliki dosa dan utang pembangunan bagi masyarakat Papua," kata Ubedilah atau disapa Ubed kepada Gresnews.com, Selasa (16/6).
Seperti disepakati beberapa waktu lalu, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) bersama Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin resmi mengalihkan status PT Freeport sebelum masa kontraknya selesai pada 2021 mendatang.
Mengenai kesepakatan status Perusahan Asal Amerika itu, Ubed menilai upaya pemerintah harus diakui sedikit lebih baik misalnya dalam meredam hegemoni PT Freeport. Dimana, Ubed menilai, transisi kontrak karya menjadi IUPK secara positif menguatkan posisi pemerintah Indonesia.
"Ini memang positif karena sewaktu-waktu pemerintah bisa mencabut izin Freeport," kata Ubed.
Namun demikian, inti persoalan yang dikhawatirkan bakal terjadi adalah terkait kesepakatan jangka waktu kontrak dan siapa atau pihak mana yang diuntungkan. Melihat permasalahn itu, Ubed menilai dari segi kontrak dan keuntungan kedepan diprediksi bakal tetap dikendalikan PT Freeport.
"Soal kepentingan dan keuntungan pastinya pemerintah masih dibawah kendali Freeport. Jadi ini akal-akalan saja," ungkapnya.
Menurut Ubed, solusi konkret kedepan adalah perlu dibangunnya semacam cara baru terutama menyangkut totalitas PT Freeport dan pemerintah dalam membangun kesejahteraan masyarakat Papua. Dimana, capaian kesepkatan berupa keberpihakan perusahaan terhadap daerah operasionalnya melalui aturan yang mengikat baik berupa regulasi maupun perjanjian.
Sepanjang aktivitas ekplorasi dan ekspansi modal PT Freeport di Indonesia, ada serangkaian aturan yang dilanggar khususnya terkait ketentuan pelepasan saham (divestasi).
Aturan tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dimana, pada Pasal 112 D Ayat (2) PP Nomor 77 Tahun 2014 menyatakan bahwa PT Freeport wajib melaksanakan ketentuan divestasi (pelepasan) saham sebesar 20 persen paling lambat setahun sejak PP diundangkan. Namun, pada tahun 2015 (setahun setelah UU dibuat), divestasi dimaksud belum diserahkan seluruhnya kepada pemerintah dimana saham yang baru diserahkan PT Freeport baru sekitar 9,36 persen.
Sebelumnya, bertempat di Kementerian ESDM, Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin buka suara terkait tudingan miring yang dialamatkan sejumlah pihak. Dalam keterangannya, Ia tetap mengklaim pihaknya sudah mengikuti ketentuan dan tunduk pada aturan nasional yang berlaku.
Terlepas dari tak terpenuhinya kuota saham yang harus dilepas PT Freeport, Maroef tetap berujar salah satu bentuk kepatuhan terlihat melalui perubahan status PT Freeport yang kini disepakati bersama pemerintah. "Freeport menunjukkan komitmen lewat kepatuhan terhadap UU minerba dalam perubahan status KK menjadi IUPK," kata Maroef.
Reporter : Everd Scor Rider Daniel
Redaktur : Muhammad Fasabeni
Sumber : www.gresnews.com