Dunia Yang Berlari

Dunia ini berlari, bung! Manusia dengan segala kemauan dan eksistensi. Tanpa ragu, Gidens berkata: Kita sedang runaway. Orang yang dikatakan modern pun, tak selesai menelusuri maksud itu. Sampai-sampai, zaman sekarang orang mudah hanyut. Dan ada juga yang bilang dengan penuh curiga: jangan terlalu banyak harapan hari ini.
Berlari bukan sekadar demi kebaikan, atau daya perubahan. Itu rumus yang keliru. Berlari yang dimaknai dalam perubahan, bisa membuat orang beranjak atau juga ketinggalan. Konsekuensi dari berproses dalam ruang yang ramai.
Tapi, kebanyakan hari ini, fenomena terang-terangan berlari dalam kecemasan. Bukankah itu yang telah ditukar dengan kemajuan itu sendiri, atau konsekuensi-keonsekuensi lain. Ketika kaum sosialis bermimpi seperti itu dulu, mereka menggengam kebangkrutan, ideologi yang barangkali agak kurang antisipasi dengan tuntutan yang cepat.
Kapital lebih eksis. Kapital lebih dihormati, dan mendorong dunia berlari ke arah kepentingan. Bahasa, simbol, identitas pun bagian dari gemuruh perubahan.
Semua orang bicara karena kecemasannya. Dan juga diingat, ada yang masih sedikit optimis, membincang kepentingan dengan santun, walauupun mereka sadar benar, konsekuensi tidak bisa mengesampingkan ilmu pengetahuan. Herbert Marcuse berdiri pada tesis Marx. Dan mengamati dunia yang dibuat riuh dengan mesin-mesin industri. Mesin tak menciptakan nilai. Yang eksis adalah penjajahan itu sendiri. Anggapan Mercuse demikian.
Habermas lebih jauh melihat, dunia ini sedang berlari dalam selubung kepentingan. Akhir dari kecemasan itu, orang berlomba-lomba hidup dalam insting masing-masing. Dalam kalimat pengantar pada buku Habermas “Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi”, Magniz Suseno mengungkit pandangan yang tak umum. Kalimat itu lebih tampak sebagai kecemasan.
Ada kecemasan, itu mengapa orang beramai-ramai sadar mencari keselamatan. Apa yang terjadi di masa depan, selalu dikhawatirkan. Magniz khawatir: “Bagaimana supaya dunia yang berlari ini, tidak di bawah klaim-klaim teknokrat?
Dan, pemikiran Habermas seolah mengambil jarak dari kenyataan itu. Ia sadar, dengan menulis “Technick und Wissenschaft als Ideologie”. Judul yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 1990. Buku setebal 180 halaman itu memuat tentang tesis Habermas yang curiga akan tendensi dan relasi kepentingan yang tengah terjalin dalam ilmu pengetahuan sekarang. Analisa itu bisa jadi tepat, seluruh bagian membentuk otoritas, tentu otoritas itu berdiri di atas sebuah ideologi – kepentingan.
Dunia ini sedang berlari bung!
Karena orang sakit dijadikan bisnis. Sekolah diseret ke wilayah industri. Tidak ada yang paling benar kecuali iklan. Brand adalah agama. Segala dari konsekuensi itu manipulasi, tidak aman, proses tidak lagi berarti. Orang mudah lalai untuk berlaku pragmatis. Katanya, pragmatisme disebut-sebut, menjanjikan dan dipercaya mendatangkan keinginan.
Itu karenanya, dunia berlari dalam kemiringan. Kompleks dan mudah membuat yang lain terantuk. Orang jadi bertanya: bagaimana proses menemukan keselamatan: jika seandainya dunia ini telanjang, tak lengkap, dan saling memisahkan.
Kaki kita berat, karena terseret genangan. Sayang, genangan itu malas surut. Lebih baik, tapi cuma sedikit yang melawan arus. Sambil berpikir, pantaskah (sembari mengerutkan dahi), mencari sapu tangan: kalau-kalau, nanti genangan di mata sudah penuh.

Bandung, 2018
Nama saya: Everd Scor Rider Daniel
Pegiat literasi dan kolumnis sastra
Terimakasih, semoga bermanfaat

Disqus Comments