Wiranto: Memang, Ada Separatis Yang Menyampaikan Petisi Referendum Papua Ke Komisi Dekolonisasi

Bekas panglima ABRI ini mengatakan, adanya petisi referendum Papua Barat yang diduga dipresentasikan secara diam-diam oleh pihak tertentu tidak sah. Dia menjelaskan, saat ini pemerintah harus bertempur dengan opini yang menyebut­kan pemerintahan Jokowi tidak membangun keadilan dan meng­abaikan masalah HAM di Papua. Wiranto juga mengomentari soal beredarnya video Brimob yang berlatih rocket propelled grenade(RPG).

Adanya petisi referendum Papua Barat yang beredar di PBB, tanggapan Anda? 
Bentar saya tanya dulu Anda itu orang Indonesia bukan? Cinta Indonesia utuh nggak? Jadi ka­lau ada orang yang ngaco dan ingin Indonesia pecah setuju apa nggak? Bahwa memang upaya mereka untuk memerdekakan Papua terus menerus akan ber­langsung, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejak saya jadi panglima TNI di 1998 sudah ada, sudah kita hadapi bersama-sama masalah Tim-Tim. Tapi beda dengan Tim-Tim, kita klaim betul ini merupakan suatu wilayah yang sah setelah melalui referendum yang dikatakan sah oleh PBB waktu itu. 

Sampai saat ini upaya mer­eka untuk memerdekakan diri makin kencang? 
Kalau ada keinginan-keingi­nan merdeka itu ada kita akui, tapi pemerintah kan sungguh-sungguh sekarang untuk mem­bangun Papua dan Papua Barat. Dengan semua kemampuan yang dimiliki pemerintah. Saya yang ikut sidang kabinet terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi memberi suatu atensi khusus bagaimana pembangunan di Papua dan Papua Barat agar tidak gagal. Pembiayaan yang berlebihan dikasih. Perencanaan pembangunan lewat Bapennas diwujudkan yang holistik yang mencakup semua pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, per­tanian, kebutuhan listrik, trans­portasi dipikirkan semua di sana. Direncanakan dan dilaksanakan secara bertahap. Jadi intinya Indonesia menginginkan pem­bangunan Papua dan Papua Barat supaya cepat nanti sejajar dengan daerah lain kemajuannya itu betul-betul direncanakan dan dilaksanakan pemerintah. 

Baca: Penjelasan Benny Wenda Tentang Petisi West Papua

Soal opini-opini yang meny­erang pemerintah? 
Sekarang kita harus bertempur dengan opini-opini yang diban­gun bahwa seakan-akan pemerintah membangun ketidakadilan di sana. Demikian pula pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM berat ada kriterianya, enggak semua kriminal itu pelanggaran HAM, jangan sampai terkecoh dengan itu. Kemudian kemarin yang terakhir ada satu berita bahwa seakan-akan ada permintaan petisi kemerdekaan Papua dan Papua Barat. Memang betul ada. Ada dari kelompok separatis yang bergerak di luar mencoba untuk memyampaikan petisi itu kepada Dubes Venezuela sebagai ketua komisi 24 masalah dekolonisasi. Tapi sudah di­jawab hari ini bahwa bener saya mendapatkan petisi itu tapi itu tidak sah dan bisa muncul dari siapa saja dan saya tetap menjaga kedaulatan Indonesia, integritas Indonesia yang sudah sah yang enggak bisa diganggu gugat. Nah seharusnya ini yang harus kita lemparkan ke publik. Jangan petisi-petisi itu terus. Petisi-petisi itu akan selalu ada tapi kita sebagai negara berdaulat yang punya kedaulatan yang sah yang diakui PBB pertahankan ini dan kita bangsa Indonesia jangan ke­mudian ikut memyebarkan hoax dan mengingkari kesetiaan kita terhadap NKRI. 

Tanggapan Dubes Venezuela? 
Ya alhamdulillah itu sudah dilewati, sudah ada penyangga­han langsung secara resmi dari Dubes Venezuela yang secara resmi beliau minta maaf bahwa hubungan baik antara Indonesia dan Venezuela tetap terjaga. Dan dia menolak bahwa ada petisi resmi masuk ke PBB. Itu nggak benar itu. 

Oh ya soal beredarnya video latihan Brimob menggunakan RPG? 

Teman sekalian hati-hati me­lihat video. Video yang beredar di medsos bisa beragam. Saya kemarin melihat video yang mengkritisi saya sebagai Menko Polhukam. Tapi video itu dibuat pada saat pemilihan presiden dan wapres tahun 2014. Saya nengok loh kok dimuat lagi. Tapi seakan-akan dikaitkan dengan isu sekarang ini. 

Demikian pula hati-hati mis­alnya ada pelibatan suatu insti­tusi ada videonya tapi itu jaman penumpasan GPK di Aceh dulu. Nah hati-hati itu. Jangan sampai ada info yang justru membuat kegaduhan. 

Kebijakan yang terkait e-money perlu mempunyai daya jangkau terapan jauh ke depan. Maksud kami ini kebijakannya jangan sampai baru dimulai lalu ada perubahan lagi. Pemahamannya adalah kita tidak boleh membatasi teknologi kan. Kemudian yang kedua, kebijakan e-money perlu mengarah kepada efisiensi dan kepraktisan seba­gai alat transaksi masyarakat, termasuk integrasinya dengan kartu-kartu lain yang berfungsi sejenis. 

Lalu yang ketiga terkait dengan pengaturan top-up e-money, di­harapkan konsumen tetap memi­liki alternatif akses pada top-up tidak berbayar dan berbayar. 

Maksudnya bagaimana itu? 
Ya kiranya itu harus mem­petimbangkan agar masyarakat tidak dibebani dengan biaya isi ulang dilakukan pada bank, lembaga penerbit, dan/atau afili­asinya. Nah itu sudah jadi kebi­jakan BI, kalau di top up di bank penerbit atau lembaga penerbit tidak lebih dari Rp 200 ribu kan bebas, namun kalau lebih dari Rp 200 ribu maka dikenakan biaya Rp 250 untuk sekali top up. Itu landasannya karena 96 persen orang top up di bawah Rp 200 ribu, nah kalau sisanya ting­gal empat persen lalu dikenakan biaya itu, ya mending dibebasin saja sekalian biaya top up itu. 

Bagaimana dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang jika diber­lakukan uang elektronik ini? 
Nah pada setiap transaksi di wilayah NKRI, konsumen terja­min tetap memiliki akses pem­bayaran tunai, sesuai Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang masih berlaku. Artinya, setiap orang dilarang menolak pembayaran tunai rupiah. 

Terkait dengan implementasi e-money dalam pelayanan jasa tol. Nah kami merekomendasikan harus dimungkinkan pembayaran cash itu harus tetap ada, karena kalau ditolak itu ya melanggar undang-undang. Teknis, imple­mentasi diserahkan saja kepada pengatur. 

Kemudian rekomendasi yang kelima semua bentuk pengaturan mengedepankan kepentingan dan keadilan bagi konsumen, termasuk pengaturan aplikasi uang elektronik pada transaksi jasa jalan tol. 

Bukankah seharusnya kon­sumen itu mendapatkan keun­tungan dari 'e-money' karena sudah menanmkan uangnya. Sekarang justru dikenakan biaya? 
Betul. Tapi BPKN tidak mem­bahas sampai sana lah ya. Tapi begini, seharusnya ini supaya gerakan nasional non tunai ini memasyarakat, khususnya bagi mereka yang jarang mengakses lembaga pembayaran formal, nah ini kan diperkenalkan su­paya masyarakat mengenal. Ini kan akses masyarakat terhadap perbankan meningkat. E-money kan sebenarnya uang cash na­mun diubah dalam bentuk kartu atau chip itu. Jadi jika kartu ada hilang, ya seperti uang anda tercecer saja. 

Kemungkinan konsumen e-money dapat bunga seperti produk keuangan lainnya?
 
Kalau (e-money) itu kan uang­nya harus standby terus, karena penggunaannya atau transak­sinya kan cepat, jadi memang berbeda dengan tabungan atau lainnya yang bisa digunakan sebagai dana pihak ketiga yang jangkanya lebih panjang. Namun kalau dia (bank) menggunakan uang di e-money untuk mem­biyai sesuatu, khawatirnya dia tidak siap kalau pemilik kartu akan menggunakan. (www.rmol.co)

Disqus Comments