Andrew Vickers (Foto: CFMEU) |
Serikat buruh tersebut mengatakan mereka telah menyaksikan 10 orang meninggal akibat ditolak oleh rumah sakit di Papua karena jaminan kesehatan mereka tidak berlaku lagi setelah diPHK secara sepihak oleh PT Freeport Indonesia.
Hal ini merupakan rentetan dari sengketa karyawan dan PT Freeport yang sudah berlangsung cukup lama.
Serikat buruh internasional itu, di antaranya IndustriALL Global Union, yang beranggotakan 50 juta pekerja di 140 negara, berada di Jakarta sejak pekan lalu mencoba membantu untuk menengahi sengketa antara Freeport yang memecat karyawan yang ikut dalam aksi unjuk rasa.
ABC mengutip pernyataan serikat buruh itu, bahwa para pekerja diberhentikan karena mengambil bagian dalam aksi unjuk rasa resmi dan menghentikan hak-hak dasar mereka.
Ribuan karyawan Freeport melakukan unjuk rasa setelah mereka dirumahkan akibat pemerintah RI menghentikan izin ekspor perusahaan tersebut. Freeport mengatakan para pekerja itu dianggap telah mengundurkan diri karena melanggar kontrak.
Andrew Vickers dari The Construction, Forestry, Mining and Energy Union (CFMEU) Australia mengatakan bahwa pendidikan untuk anak-anak pekerja, dan hak kesehatan telah dihentikan oleh Freeport.
"Kami telah melihat kasus orang-orang yang dipulangkan dari rumah sakit sebagai konsekuensinya. Secara tragis kami diberitahu bahwa 10 orang telah meninggal setelah ditolak oleh rumah sakit karena kurangnya cakupan layanan kesehatan (dari perusahaan)," kata Vickers.
"Kami juga mengerti bahwa tanpa jaminan pendapatan, bank-bank menyita aset mereka. Ini adalah situasi yang sangat tragis yang terjadi di Papua sebagai konsekuensi dari perselisihan perburuhan ini,” lanjutnya.
Vickers mengatakan bahwa ini adalah pelanggaran "mengerikan" terhadap hak asasi manusia dan para pekerja.
"Dalam kasus PT Freeport, di sekitar tambang Grasberg,Papua, perusahaan memiliki begitu banyak kekuatan dan begitu banyak kontrol," kata Adam Lee dari IndustriALL Global Union, yang juga telah melakukan perjalanan ke Jakarta.
"Dan mereka telah mempengaruhi sekolah sehingga anak-anak para pekerja tidak bisa mendapatkan pendidikan," tambahnya.
Serikat pekerja internasional tersebut telah menuntut akses ke lokasi tambang untuk mendapatkan informasi yang lebih baik dan lebih jelas tentang semua dampak dari apa yang dilakukan perusahaan.
"Sayangnya, perusahaan tidak memberi izin kepada serikat pekerja atau media untuk naik ke sana," jelas Lee.
Juru bicara Freeport Riza Pratama mengatakan kepada ABC bahwa pekerja tersebut dianggap telah mengundurkan diri dan perusahaan tidak berkewajiban untuk terus menggaji mereka, termasuk memberikan biaya sekolah untuk anak-anak mereka.
Sumber: www.satuharapan.com