Ketika orang Papua sedang mempersiapkan diri untuk menyambut perayaan HUT Proklamasi Repulik Indonesia (RI) yang ke 72, mereka dikejutkan oleh berita penembakan terhadap warga sipil yang dilakukan sejumlah anggota Brimob dan Polisi di Kabupaten Deiyai, 1/8. Dilaporkan bahwa 17 orang Papua tertembak (Tabloid jubi.com., 1/8). Penembakan dilakukan dengan peluru kaliber PIN 5,56, bukan peluru karet. Satu korban tewas. Tiga korban yang kritis dirujuk ke RSUD Nabire. Ada korban yang dirawat di Rumah Sakit Deiyai. Sejumlah korban lainnya dirawat oleh keluarganya di rumah masing-masing (Tabloid jubi.Com., 2/8). Peristiwa penembakan ini akan diingat orang Papua sebagai hadiah HUT Proklamasi RI ke 72.
Bukan Hal Baru
Bukan Hal Baru
Penembakan di Deiyai bukan hal pertama bagi orang Papua. Karena mereka sudah biasa menjadi korban aksi kekerasan. Kasus-kasus yang terjadi sejak pelantikan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada oktober 2014 hingga 1 Agutus 2017, dapat dijadikan contoh untuk memperlihatkan adanya kekerasan terhadap orang Papua.
Di Kabupaten Dogiyai, 20/1, 2017, beberapa oknum polisi melakukan penyiksaan dan penganiayaan terhadap Ferdinand T., Desederius Goo (24), Alex Pigai, Oktopianus Goo, dengan menggunakan potongan kayu balok berukuran 5x5 cm dan pangkal senjata di Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Moanemani.
Pada 10/1, Otis Pekei meninggal dunia karena dipukul hingga babak belur oleh oknum polisi di Mapolsek yang sama.
Di Wamena, Kabupaten Jayawijaya,10/1, Edison Matuan (21) ditangkap beberapa oknum polisi, kemudian dipukul, disiksa, dan dianiaya, baik di Mapolsek maupun di Rumah Sakit Umum Daerah, hingga meninggal dunia pada keesokan harinya.
Dalam tahun 2016, SETARA Institute mencatat 68 kasus kekerasan terhadap orang Papua di Provinsi Papua dan Papua Barat. Di antaranya, di Kabupaten Dogiyai, 23/12, dua oknum brimob melakukan penganiayaan terhadap Melkias Dogomo yang meninggal beberapa hari kemudian.
Di Kabupaten Boven Digul,1/12, Oktovianus Guam (16) diduga ditembak mati oleh oknum polisi.
Di Manokwari, 26-27/10, aparat kepolisian melakukan penembakan, penyiksaan, dan penganiayaan terhadap orang Papua.
Di Kabupaten Merauke, 14/9, dua okum polisi melakukan pemukulan dan penembakan terhadap Melky Balagaize (19).
Di Kabupaten Intan Jaya, 27/8, Otianus Sondegau (15) ditembak mati oleh oknum Brimob.
Sedangkan dari Oktober 2014 hingga Desember 2015, menurut SETARA Institute, terjadi 16 tindakan kekerasan negara. Misalnya di Jayapura, 27/8, tiga pemuda Papua atas nama Wilhelmus Awom (26), Soleman Yom (27), dan Yafet Awom (19) diculik dan dianiaya hingga babak belur oleh oknum polisi.
Di Kabupaten Yahukimo, 19/3, oknum polisi menembak mati Intel Senegil (16).
Semua kasus kekerasan di atas memperlihatkan bahwa orang Papua masih dipandang sebagai musuh Negara Indonesia. Maka kekerasan dilakukan untuk menghancurkan musuh Negara. Karena itu, hanya orang Papua yang menjadi korban dari kekerasan.
Pelaku kekerasannya adalah aparat keamanan. Dalam banyak kasus, anggota POLRI dan Brimob diduga terlibat sebagai pelaku kekerasan. Oleh sebab itu, semua kekerasan di atas dapat dikategorikan sebagai kekerasan negara karena pelakunya adalah aparat negara. Kekerasan terwujud dalam bentuk penculikan, pemukulan, penyiksaan, penganiayaan, dan penembakan orang Papua.
Mengenai tempat kejadian, tampak bahwa kekerasan negara dilakukan bukan hanya di Kabupaten Deiyai tetapi juga di beberapa kabupaten lain dalam Provinsi Papua dan Papua Barat.
Seperti yang ditemukan Tim LIPI melalui penelitiannya, ternyata bahwa kekerasan negara terhadap orang Papua sudah berlangsung sejak Papua berintegrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ((NKRI) tahun 1963. Maka aksi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap orang Papua sejak tahun 2014 hingga kini merupakan pengulangan dan kelanjutan dari apa yang sudah biasa dilakukan selama 50 tahun sebelumnya di Tanah Papua.
Bumi Cenderawasih dihuni bukan hanya oleh orang Papua. Minimal satu stengah juta orang Melayu yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia yang hidup di Tanah Papua. Tetapi, selama 54 tahun Papua berintegrasi ke dalam NKRI, hampir tidak pernah ada berita tentang kekerasan negara yang dilakukan anggota TNI, POLRI, Brimob, terhadap orang Melayu yang hidup di Tanah. Malah anggota TNI, POLRI dan Brimob, seperti yang diperlihatkan kasus-kasus di atas, berperan melindungi orang Melayu di Tanah Papua. Orang Melayu melapor ke Brimob atau Polisi memohon perlindungan keamanan. Aparat keamanan melayani permohonan tersebut dengan melakukan tindakan kekerasan dalam berhadapan dengan orang Papua.
Bumi Cenderawasih dihuni bukan hanya oleh orang Papua. Minimal satu stengah juta orang Melayu yang berasal dari berbagai provinsi di Indonesia yang hidup di Tanah Papua. Tetapi, selama 54 tahun Papua berintegrasi ke dalam NKRI, hampir tidak pernah ada berita tentang kekerasan negara yang dilakukan anggota TNI, POLRI, Brimob, terhadap orang Melayu yang hidup di Tanah. Malah anggota TNI, POLRI dan Brimob, seperti yang diperlihatkan kasus-kasus di atas, berperan melindungi orang Melayu di Tanah Papua. Orang Melayu melapor ke Brimob atau Polisi memohon perlindungan keamanan. Aparat keamanan melayani permohonan tersebut dengan melakukan tindakan kekerasan dalam berhadapan dengan orang Papua.
Pengalaman selama lebih dari lima dekade ini memperlihatkan bahwa hanya orang Papua, sekalipun tidak semuanya, dipandang dan diperlakukan sebagai musuh negara. Mereka jadi target dari aksi kekerasan negara. Sementara orang Melayu lebih dipandang sebagai sahabatnya aparat keamanan sehingga mereka dilindungi. Oleh sebab itu, muncul kecurigaan pada orang Papua, terutama mereka yang mengalami kekerasan negara dan keluarganya, bahwa aparat keamanan bertindak diskriminatif.
Tantangan bagi Pemerintah
Tantangan bagi Pemerintah
Pelaku penembakan di Deiyai dapat saja diberi sangsi. Tetapi perlu disadari bahwa penembakan di Deiyai telah menambah luka baru dalam hati orang Papua. Ditambah dengan luka hati yang lama, kekerasan negara seperti penembakan, dapat berakibat fatal bagi Indonesia.
Bertolak dari pengalaman penderitaannya selama ini, banyak orang Papua bersikap antipati terhadap oknum dan lembaga Polisi dan Brimob. Rencana pendirian Markas Kepolisian Resort (Mapolres) di sejumlah kabupaten ditolak oleh orang Papua karena mereka tidak ingin menjadi korban kekerasan negara.
Orang Papua juga sudah memohon Pemerintah Provinsi Papua untuk menarik keluar anggota Brimob dari beberapa kabupaten karena kehadirannya, terutama aksi kekerasannya, meresahkan orang setempat. Rencana pembangunan Markas Komando Brimob di Wamena juga sudah ditolak oleh orang Papua.
Ketika kekerasan negara terus dilaksanakan, nasionalisme Indonesia – sekalipun dikampanyekan melalui berbagai media dan kegiatan – sulit bertumbuh dalam hati orang Papua, terutama pada para keluarga yang menjadi korban kekerasan negara. Pemerintah Daerah, anggota TNI, dan Polisi, di kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat saja berlomba dan berbangga mengibarkan Bendera Merah Putih dalam ukuran yang besar. Tetapi kegiatan artifisial ini tidak akan berhasil menghilangkan antipati dan ketidakpercayaan mereka terhadap Indonesia. Bagaimana mungkin orang Papua diharapkan mencintai Indonesia, ketika pada saat yang sama mereka dipandang sebagai musuh negara dan dihadapi dengan tindakan kekerasan yang dilakukan aparatur negara? Tambah lagi, orang Papua mengetahui bahwa Pemerintah belum mempunyai komitmen moral dan politik untuk menyelesaikan tiga kasus pelanggaran HAM berat yakni Kasus Wasior (2001), Kasus Wamena (2003), dan Kasus Paniai (2014).
Berdasarkan pengalaman kekerasan negara yang terus dialami sejak 1963 hingga kini, kepercayaan orang Papua terhadap negara Indonesia sudah mencapai titik terendah. Semakin banyak orang Papua berkesimpulan bahwa orang Papua tidak mempunyai masa depan dalam NKRI.
Kini Pemerintah Pusat dan Daerah ditantang untuk membangkitkan kepercayaan dan harapan dalam hati orang Papua. Pemerintah perlu meyakinkan mereka bahwa orang Papua akan mempunyai harapan dan masa depan yang lebih baik dalam NKRI.
Neles Tebay adalah dosen pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar TImur Abepura, Papua.
Sumber: http://www.satuharapan.com