Jokowi Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat di Papua

Polisi membubarkan aksi sejumlah massa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua di Jakarta, Kamis (1/12). Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum di seluruh wilayah Papua. ANTARA FOTO/Juan Ferdinand/RN/foc/16

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto masih berharap kasus pelanggaran HAM berat di Papua diselesaikan di luar jalur peradilan. Itu menjadi salah satu opsi penuntasan kasus yang dia tawarkan.

“Kita harus menyiapkan proses di mana penyelesaian itu sangat dimungkinkan melalui satu penyelesaian nonyudisial,” kata Wiranto usai pertemuan dengan Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat pada Senin, 30 Januari lalu.

Sebelumnya, Wiranto sempat mengungkapkan hal yang sama: menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua melalui mekanisme nonyudisial. Hal itu dia ungkapkan pada 6 Oktober 2016 di Istana Negara.

Menurut Wiranto, penyelesaian nonyudisial bersifat "win-win solution." Sebab, tidak ada yang merasa dimenangkan atau dikalahkan dalam peradilan, klaim dia.

"... Win-win solution itu ... Budaya itu sekarang hilang tatkala kita langsung orientasinya ke budaya win and lose, pengadilan. Apa-apa (lewat) pengadilan," ujarnya.

Sejumlah peneliti dan penggiat hak asasi manusia sempat menolak Wiranto menjabat Menko Polhukam di bawah pemerintahan Joko Widodo, menggantikan Luhut Binsar Panjaitan, pada 27 Juli 2016. Merek menilai Wiranto akan menghambat penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sebab dia diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat lain.

Siti Noor Laila, Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, mengakui salah satu penghambat penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, termasuk di Wasior dan Wamena, karena faktor Menko Polhukam dijabat oleh orang bermasalah dalam HAM.

“Jadi pelanggaran HAM itu terjadi, tapi Menko Polhukam mengharapkan penyelesaian rekonsiliasi secara alamiah, artinya dengan sendirinya,” ujar Siti kepada reporter Tirto di Jakarta, Senin (12/6).

Noor Laila menjelaskan, kasus Wasior dan Wamena sudah diproses sejak Tedjo Edhy Purdijatno dan Luhut Binsar Panjaitan menjadi Menko Polhukam. Berbeda dengan Wiranto, di era Purdijatno dan Panjaitan, tak ada masalah yang mengganjal, keduanya mengakui ada pelanggaran HAM berat soal kasus Wasior dan Wamena.

“Tapi ketika Pak Wiranto yang diberi tanggung jawab oleh presiden untuk menyelesaikan kasus ini," ujar Noor Laila, "beliau bersama tim ahlinya justru menolak mengakui peristiwa itu. Itu kami sangat kaget. Jadi ini kemunduran."

"Bila negara tidak mengakui sebagai pelanggaran HAM berat, bagaimana dengan prinsip penuntasan kasusnya?" demikian Noor Laila.

Meski begitu, Komnas HAM akan terus menuntut negara menuntaskan kasus Wasior dan Wamena melalui proses pengadilan HAM.

“Ada komitmen Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk segera menyelesaikan Wasior dan Wamena melalui proses yudisial. Sampai sekarang, memang kalau 1965 mentok di tembok dalam konteks sosial-politik. Tapi ini menjadi peluang bagi kasus Wasior-Wamena,” tegas Noor Laila, yang menambahkan bahwa pengusutan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu bisa menjadi preseden ke depan memutus impunitas alias kebal-hukum dan memastikan hak pemulihan bagi korban.

Menghilangkan Fakta Perkosaan di Wasior

Wasior adalah sebuah distrik di Kabupaten Teluk Wandomi, Provinsi Papua Barat. Kabupaten ini hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari pada 2003.

Kasus Wasior terjadi pada 13 Juni 2001. Asalnya, lima anggota Brimob dan seorang warga sipil di CV Vatika Papuana Perkasa terbunuh. Pelaku diduga merampas 6 senjata dari anggota Brimob. Lalu Polres Manokwari menerjunkan Brimob dari Biak, Jayapura, dan Sorong ke sebuah desa bernama Wandiboy dan desa-desa di luar Manokwari di Kabupaten Nabire dan Kabupaten Serui. Pencarian pelaku disebut sebagai 'Operasi Tumpas Matoa'.

“Korban penyiksaan di Wasior ada 39 korban, 1 korban pemerkosaan, 5 orang penghilangan orang secara paksa ada yang sampai sekarang belum ditemukan,” ujar Siti Noor Laila, yang menyebut tindakan sewenang-wenang aparat terhadap warga sipil Papua itu dapat memenuhi unsur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Soal tindakan perkosaan, berdasarkan pengakuan suami korban, aparat keamanan memerkosa seorang perempuan dan menembak mati. Meski saat itu suasana gelap, tetapi ada salah satu saksi yang menerangi perbuatan pidana itu dengan senter.

Fakta ini diperkuat keterangan saksi lain yang menyatakan melihat perempuan yang diperkosa itu ditembak mati lalu jenazahnya dibuang ke laut. Tapi hanya satu bukti yang bisa dikantongi, yakni keterangan para saksi, sedangkan bukti lain terkait jenazah sudah hilang.

Menurut Noor Lalia, peristiwa pelanggaran HAM berat Wasior untuk kasus pemerkosaan bakal kesulitan diusut sebagai peristiwa hukum. Maka, Komnas HAM merencanakan tak melanjutkan kasus pemerkosaan ke tahap pengadilan HAM.

“Persoalannya, si korban adalah bagian dari orang yang sampai sekarang tidak ditemukan,” ujarnya.

Kasus terkuat di Wasior, menurut Noor Laila, ialah perampasan kemerdekaan. Beberapa korban dibawa ke kantor polisi tanpa prosedur lantas disiksa.

Selain itu, ada dugaan negara sengaja melakukan pelanggaran HAM berat di Wasior. “Kalau polisi hanya mencari pembunuh Brimob dan satu masyarakat sipil, kenapa 'Operasi Tumpas Matoa' disebar ke 3 kabupaten?”

Sorotan lain barang bukti visum et repertum para korban. Rumah sakit yang memeriksa para korban ternyata rutin memusnahkan dokumennya tiap 5 tahun sekali.

“Jadi ketika kami datang," ujar Noor Laila, "itu sudah tidak ada dokumennya karena sudah 13 tahun. Itu kendala utama dalam proses pembuktian."

Lambat Tangani Kasus

Dewan Nasional Federasi KontraS Teguh P. Nugroho menyatakan kecewa atas proses penuntasan kasus Wasior dan Wamena yang berlarut-larut. Padahal kasus Wasior dan Wamena terjadi 16 tahun dan 14 tahun silam.

“Alat bukti sudah banyak yang hilang, sudah banyak dihilangkan, saksi-saksinya juga sudah banyak yang hilang,” ata Teguh di Jakarta, Senin kemarin (12/6).

Komnas HAM telah menuntaskan penyelidikan proyustisia pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena pada 3 September 2004, atau 13 tahun silam dalam satu berkas. Namun, berkas tersebut dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dinilai "belum lengkap secara formil dan materiil."

Pada 29 Desember 2004, Komnas HAM menyerahkan kembali berkas yang sudah dilengkapi kepada Kejagung. Tapi pada 31 Juli 2013 atau 9 tahun setelahnya, Kejagung mengembalikan lagi berkas tersebut.

Setelahnya, pada 24 Septermber 2013, Komnas HAM menyerahkan berkas kasus itu ke Kejagung. Tetapi dikembalikan lagi oleh Kejagung pada 6 Juni 2014.

Sekira sebulan setelahnya, 17 Juli 2014, Komnas HAM memberikan berkas itu ke Kejagung lagi.

Teguh berharap hakim yang dikerahkan dalam pengadilan HAM kasus Wasior dan Wamena harus memiliki pengetahuan mendalam terkait HAM. Jika tidak, vonis bebas bagi para terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat Abepura akan terulang.

“Penyidik kejaksaan itu tidak seluruhnya paham terkait crimes against humanity, kejahatan terhadap kemanusiaan. Kasus Abepura membuktikan bahwa persepsi hakim terkait unsur-unsur pelanggaran berat HAM tidak sama dengan yang dimaksudkan UU 26 tahun 2000. Jadi dalam pikiran hakim, lebih banyak unsur pidana biasa,” ujarnya.

Teguh mendesak Presiden Jokowi menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat sebagai janji kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 lalu. Teguh juga mengkritik kinerja Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang abai atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan masa lalu, termasuk di Papua.

“Kejaksaan Agung lebih fokus mempertahankan rezim ketimbang menjadi penyelidik korban pelanggaran HAM," ujar Agung.

Latar Belakang Kasus dan Situasi Politik Pasca-Soeharto

Kasus Abepura yang disebut Teguh terjadi 7 Desember 2000. Ia buntut dari serangan balasan atas penyerangan massa terhadap Markas Polsekta Abepura, yang mengakibatkan seorang polisi meninggal dunia dan 3 orang lain luka-luka. Aksi ini pun diiringi pembakaran ruko, 100 meter dari Mapolsek. Serangan juga menyasar pada seorang satpam di kantor Dinas Otonomi Kotaraja dan membuatnya tewas.

Polres Jayapura dan Polda Papua membalas kekerasan massa itu dengan menerjunkan operasi untuk mengejar para mahasiswa di tiga asrama dan warga di tiga permukiman sekitar. Aksi balasan polisi itu termasuk merusak, menembak, menangkap, dan menyiksa para warga dan mahasiswa, termasuk membunuh dan menyiksa hingga tewas para korban. Korban lain yang mengalami luka-luka pelan-pelan mengalami kelumpuhan dan meninggal dunia.

Sejak 2001 hingga 2003 Komnas HAM dan koalisi masyarakat sipil Papua melakukan penyelidikan pelanggaran HAM untuk kasus Abepura. Pada 2004 hingga 2005 para tersangka dibawa ke persidangan di Makassar. Hasilnya, Majelis Ad Hoc HAM Kasus Abepura menjatuhkan vonis bebas kepada tersangka.

Meski beragam elemen sipil menuntut agar pengadilan ad hoc kasus Abepura menghukum berat para pelaku, tetapi hakim memutuskan tidak bersalah atas pelaku yang diduga bertanggung jawab secara komando atas kekerasan terhadap puluhan mahasiswa dan warga.

Kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di Papua antara 1998 hingga 2001 menjelaskan situasi politik pasca-Soeharto, yang disambut oleh rakyat Papua untuk menyuarakan kemerdekaan. Ekspresi politik rakyat Papua segera dibungkam seiring Abdurrahman Wahid, presiden berani yang ambil hati rakyat Papua dengan mengedepankan pendekatan dialog, dilengserkan oleh kekuatan status quo.

Kursi Gus Dur mulai digoyang ketika bulan-bulan represi terhadap rakyat Papua berlangsung sejak akhir tahun 2000. Sebulan setelah kasus kekerasan di Wasior, pada 23 Juli 2001, Gus Dur dilengserkan. Pada November tahun itu juga, Theys Eluay, ketua Presidium Dewan Papua, dibunuh oleh Kopassus. Pemerintahan Megawati bertindak keras atas beragam ekspresi politik pemisahan-diri di daerah, termasuk di Aceh.

Naiknya Megawati dan kekuatan lama di belakangnya telah menutup peluang reformasi. Di ujung timur Indonesia, apa yang disebut oleh pengamat sebagai "Musim Semi Papua" segera berakhir menjadi musim kekerasan.(tirto.id - dqy/fhr)
Sumber: https://tirto.id

Disqus Comments