Ini sebagian visi para pemimpin ULMWP terkait Papua Merdeka

Benny Wenda (kiri) dan Rex Rumakiek (kanan) – Clare Harding/Free West Papua campaign
Jayapura, Jubi – Tokoh gerakan kemerdekaan West Papua, Benny Wenda dan Rex Rumakiek memaparkan gagasan mereka terkait Papua yang Merdeka kepada Majalah New Internationalis yang dikompilasi oleh Danny Chivers dari dua wawancara terpisah bulan Februari lalu, dan dirilis 1 Mei 2017.
Keduanya memaparkan pandangan mereka menyangkut demokrasi, apa yang akan diubah jika Papua merdeka, bagaimana sikap terhadap hak atas tanah dan para pemukim pendatang,
Kebijakan awal
“Setiap orang di West Papua harus memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat, berkumpul dan beragama. Kami juga harus melindungi lingkungan kami, hutan-hutan kami” ujar Benny Wenda menanggapi kebijakan mendesak apa yang akan dilakukan paling awal ‘di hari pertama kemerdekaan West Papua’.
Wenda juga mengatakan karena saat ini kekayaan tanah Papua dibawa ke luar oleh perusahaan-perusahaan baik internasional maupun Indonesia, maka mengembalikan kekayaan itu dan mendistribusikannya berdasarkan kebutuhan rakyat West Papua menjadi kebijakan awal yang dianggapnya penting.
Rex Rumakiek, anggota eksekutif ULMWP yang bermukim di Australia, mengungkapkan bahwa mereka akan meninjau semua kebijakan pemerintah Indonesia dan membentuk satu sistem ekonomi yang berbeda di West Papua.
“Kami mungkin akan mengambil contoh tipe semi sosialis Skandinavia. Kami ingin sistem yang peduli pada semua orang dengan cara-cara yang demokratis.” kata dia sambil menekankan bahwa masyarakat Papua yang kesukuan menghendaki desentralisasi kekuasaan yang cukup.
Infrastruktur, tanah dan para pendatang
Terkait penyiapan infrastruktur kebutuhan dasar masyarakat, Benny Wenda menekankan tiga prioritas: kesehatan, pendidikan dan sarana jalan. Dia juga menjelaskan pentingnya masyarakat belajar bahasa mereka sendiri.
“Kebutuhan masyarakat di pelosok paling pertama adalah layanan kesehatan dan pendidikan. Setiap distrik perlu Puskesmas/klinik dan doktor yang siaga. Sekolah juga harus ada guru, termasuk belajar bahasa daerahnya sendiri. Kita juga membutuhkan jalan yang baik sehingga orang bisa mengakses pendidikan dan kesehatan,” kata Wenda.
Perlindungan terhadap kebudayaan menjadi perhatian Wenda sambil tidak menutup mata pada kebutuhan pengadaan infrastruktur guna memenuhi kebutuhan rakyat. “Kehidupan di perkotaan dan di kampung itu berbeda. Orang-orang di kota memang sudah memiliki ide-ide baru tetapi tidak berarti mereka kehilangan kebudayaan asal usul mereka. (Sehingga) kami harus melindungi identitas kebudayaan kami sambil memenuhi insfrastruktur masyarakat”.
Terkait kepemilikan tanah, baik Wenda maupun Rumakiek menegaskan bahwa semua tanah yang diklaim milik pemerintah Indonesia atau yang sebelumnya dimiliki Belanda, harus dikembalikan ke pemilik aslinya.
“Ini persoalan yang sangat rumit, kami tahu, tapi kami harus jeli menanganinya,” kata Wenda.
Sikap terhadap para pendatang di Papua baik yang sudah puluhan tahun maupun yang baru datang, dikatakan Rumakiek akan serupa dengan Timor Leste.

“(Seperti Leste) setelah merdeka para penduduk pendatang dari Indonesia (biasanya) akan memilih kembali karena ingin hidup di Indonesia. Tapi tentu saja yang bersedia mengadopsi (negara) West Papua dan menyesuaikan diri dengan masyarakat Melanesia maka dipersilahkan tinggal,” kata Rumakiek.
Tetapi dia juga memperingatkan tidak semua pemukim pendatang memberi manfaat dengan membantu pembangunan di wilayah itu, banyak juga bersifat merusak. Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah West Papua yang baru akan berdialog dengan para pemimpin suku untuk membuat keputusan siapa-siapa pemukim pendatang yang tinggal dan siapa yang harus pergi dengan cara-cara damai.
“Ini juga akan jadi soal yang sangat sensitif, dan hukum harus peka terhadap isu-isu ini,” kata dia.
Selain hal-hal di atas keduanya juga menjelaskan visi mereka terkait projeksi hubungan dengan Indonesia dan perusahaan-perusahaan ekstraktif, sistem energi, serta posisi perempuan.(*)

Disqus Comments