Sebuah masjid di Kashgar, kota di wilayah XIanjiang, Tiongkok (Foto: Gilles Sabrie/New York Times) |
Nama-nama yang dilarang antara lain Muhammad, Arafat dan Jihad.
Pejabat pemerintah yang memperkenalkan larangan itu bulan ini menyebut bahwa ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mengekang semangat keagamaan di wilayah barat Xianjiang, tempat lebih dari 10 juta warga Uigurs, yang sebagian besar beragama Islam.
Pemerintah Tiongkok menganggap Xianjiang merupakan a persemaian ekstremis Islam dan berkembangnya kekerasan serta pandangan separatis. Namun banyak warga Uighurs mengatakan justru karena pembatasan yang sangat ketat untuk beribadah dan mengemukakan pendapat maka tensi di wilayah itu memanas.
The New York Times menerima salinan dari seorang aktivis Uighur, daftar nama-nama etnis monoritas yang dilarang. Ada belasan nama yang dilarang, termasuk Mujahid dan Medina, selain yang sudah disebutkan sebelumnya.
Pejabat keamanan di Urumqi dan di kota-kota lain di Xianjing mengkonfirmasi adanya pelarangan itu. Beberapa dari mereka mengatakan bila penduduk tidak mematuhinya, mereka berisiko untuk tidak mendapatkan berbagai layanan bagi anak-anak mereka, termasuk layanan pendidikan dan kesehatan.
Para aktivis mengatakan pelarangan ini menunjukkan bagaimana pemerintah membatasi kebebasan masyarakat Uighurs atas nama memerangi terorisme.
"Kebijakan Tiongkok makin brutal," kata Dilxat Raxit, jurubicara World Uygur Congress, sebuah kelompok berbasis di Munich yang memperjuangkan penentuan nasib sendiri bagi Xianjiang.
"Rakyat Uighur harus berhati-hati bila mereka ingin memberi anak-anak mereka nama yang mereka senangi, untuk menghindari hukuman dari pemerintah," kata dia.
Sophie Richardson, direktur Human Rights Watch Tiongkok, mengatakan seharusnya memilih nama bayi adalah sebuah urusan pribadi yang menyenangkan.
"Ini merupakan larangan absurd lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap rakyatnya," kata dia. ( SATUHARAPAN.COM )