Kurang lebih 2,5 juta tidak bisa melanjutkan sekolah. Yang bersekolah, diajar oleh guru yang 54% di antaranya belum memenuhi standar kualifikasi.
Siswi-siswi di SMU di Medan, Sumatra Utara, sedang merayakan kelulusan mereka, 18 April 2013. Foto oleh Dedi Sahputra/EPA |
JAKARTA, Indonesia — Hari ini, Senin, 17 Agustus 2015, Indonesia merayakan 70 tahun negara ini bebas dari cengkeraman penjajah. Namun, apa rakyat Indonesia telah betul-betul merdeka?
Ternyata, menurut Sekretaris Jenderal Gerakan Indonesia Pintar (GIP) Alpha Amirrachman, masih banyak rakyat Indonesia, terutama anak-anak, yang belum menikmati kemerdekaan. Hal ini ditandai dengan masih belum terbukanya akses yang merata bagi mereka yang berusia sekolah untuk mengenyam pendidikan yang layak.
“Kurang lebih 2,5 juta anak tidak bisa melanjutkan sekolah, 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD), dan 1,9 juta anak usia sekolah menengah pertama (SMP), kata Alpha, Senin.
"Sementara masih terdapat 54% guru yang masih belum memenuhi standar kualifikasi dan 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi tidak layak."
Menurutnya, ada dua faktor utama yang menjadi penyebab anak-anak ini tidak melanjutkan sekolah: Mereka bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dan kedua, adanya pernikahan dini yang juga tidak terlepas dari peran keluarga yang masih kolot.
Pernikahan dini diasosiasikan sebagai penyebab berbagai masalah di Indonesia, seperti tingginya angka kematian ibu melahirkan dan anak karena perempuan yang melahirkan pada usia dini lebih rentan mengalami gangguan kesehatan saat kehamilan dan melahirkan.
Celakanya, karena usia legal pernikahan di Indonesia adalah 16 bagi perempuan, jumlah pernikahan di usia belia di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia, dan kedua tertinggi di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Jumlah perempuan yang menikah di usia 10-14 mencapai lebih dari 22.000 atau 0,2% dari populasi Indonesia, sementara usia 15-19 mencapai 11,7%.
Keterbatasan akses pendidikan
Selain masalah putus sekolah, anak-anak di Indonesia juga masih menghadapi keterbatasan akses ke pendidikan karena kurangnya sekolah, khususnya bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Akses pendidikan bagi ABK memang telah mengalami peningkatan, di mana jumlah ABK yang bersekolah sekitar 75.000 pada tahun 2011, dan pada 2014 meningkat menjadi 125.000.
Saat ini 7 provinsi dan 34 kabupaten/kota telah mendeklarasikan sebagai daerah inklusif.
Namun ini masih belum cukup karena dari 354.707 ABK untuk jenjang pendidikan dasar, baru 2.430 yang tertampung di sekolah inklusi dan 1.774 di sekolah luar biasa (SLB).
“Penyelengaraan sekolah inklusi masih menghadapi banyak hambatan karena masih langkanya ketersediaan guru pendamping khusus dan juga dana dari pemerintah yang dirasa masih kurang untuk membuat sekolah bukan hanya menjadi visitable (bisa dikunjungi) tapi juga friendly (ramah) yang sebenar-benarnya bagi ABK,” ujar Alpha.
Selain masalah kurangnya sekolah, menurut ketua GIP yang juga Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau, Dr. Kampsol, distribusi guru juga masih belum merata.
“Dua puluh satu persen sekolah di perkotaan kekurangan guru, di pedesaan 37%, di daerah terpencil 66%, padahal di banyak daerah terjadi kelebihan guru,” ujarnya.
Kamsol mengatakan bahwa akses pendidikan yang buruk bukan hanya dialami di daerah pedesaan dan terpencil, namun juga di daerah perkotaan karena tidak adanya persebaran sekolah bermutu yang merata.
“Ketika ada sekolah yang bermutu di lingkungan tempat tinggal biayanya tinggi sehingga terpaksa harus sekolah di tempat yang jauh, sehingga harus menambah biaya transportasi, belum lagi waktu dan tenaga yang dihabiskan” ujarnya.
Di samping itu, persyaratan administrasi acapkali juga menghambat akses pendidikan.
“Misalnya kartu keluarga dan akte kelahiran sebagai persyaratan masuk sekolah dasar, karena banyak keluarga yang mungkin karena pendatang dan secara ekonomi tidak mampu belum tentu memliki kartu keluarga atau anak-anak yang tidak mempunyai akte kelahiran,” Kamsol memberikan contoh masih belum bermutunya kualitas sistem kependudukan dan kakunya persyaratan masuk sekolah.
“Pendidikan memang tidak dipungut biaya tapi biaya non-pendidikan seperti baju seragam, perlengkapan sekolah, transportasi masih mahal, bahkan lebih mahal dari biaya operasional pendidikan. Tekanan ekonomi kapitalis membuat kesenjangan terlalu tinggi pada akhirnya menggusur orang miskin bukan mengentaskan mereka dari kemiskinan,” lanjutnya.
Kamsol mengingatkan Indonesia hanya menempati posisi 108 dari 185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka 0,684. Dua negara tetangga ASEAN yaitu Malaysia (peringkat 62) dan Singapura (9) jauh telah melampau Indonesia.
Padahal tahun ini Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menghilangkan sekat-sekat negara untuk berlomba mengisi peluang-peluang pekerjaan.
“Indonesia harus berpacu meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, ini sebenarnya yang menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini untuk mengisi kemerdekaannya,” pungkas Kamsol.
ANAK INDONESIA MERDEKA PENDIDIKAN