Awal bulan ini, Presiden Joko Widodo kembali mengunjungi Papua. Janji untuk datang ke bumi cenderawasih itu ditepati setelah sebelumnya mantan Gubernur DKI ini datang saat kampanye dulu. Banyak orang Papua menaruh harapan kepada Jokowi karena bakal melakukan perubahan.
Namun, kedatangan Jokowi ke Papua untuk kedua kalinya masih dirasa belum mengakomodir harapan-harapan warga Papua untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai penduduk pribumi. Budayawan Papua juga pendeta Benny Giay banyak bicara soal dampak kunjungan Jokowi untuk kedua kalinya.
Berikut penuturan Pendeta Benny Giay kepada Arbi Sumandoyo dan Pramirvan Datu Aprillatu dengan tema setelah kunjungan Jokowi ke Papua.
Presiden Jokowi sudah dua kali datang ke Papua, menurut anda apakah sudah memenuhi harapan warga Papua?
Saya kira tidak ya. Saya pikir tidak semua orang Papua yang sedang mengharapkan dia untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Di Papua ini masalah-masalah kekerasan yang sudah dilakukan itu harus diselesaikan dulu sambil menunggu pembangunan jalan. Tapi menurut saya dia lebih memilih kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan membangun jalan, membangun ini, tanpa mengungkit apa yang orang Papua pikir sebagai akar persoalan, misalnya kekerasan-kekerasan yang terus terjadi.
Untuk kekerasan lebih khusus lagi, orang Papua yang tadinya mengharapkan itu, dia harus sekurang-kurangnya harus bisa jelaskan kepada orang Papua, bahwa dia datang untuk menyelesaikan khusus kekerasan empat orang siswa di Paniai. Itu hal yang kongkret. Tapi kemarin dia tidak singgung itu. Dulu kesan saya yang bulan Desember juga orang Papua katakan air susu dibalas dengan air tuba. Jadi mereka waktu itu bilang "ini presiden harus bicara", itu juga tidak. Waktu bulan Desember kami ketemu minta TNI dan Polri selidiki dulu.
Apa harapan warga Papua terhadap presiden?
Jadi orang Papua itu ingin rasa aman dan nyaman dari presiden. Orang Papua tidak ingin diganggu dengan segala macam, kekerasan-kekerasan dan lain-lain. Orang Papua tidak mau berurusan dengan kekerasan. Pembangunan itu nomor sekian. Orang Papua itu bilang 'kami biasa hidup begini' biarkan kami hidup tapi jangan terus menerus melakukan pembunuhan, penangkapan, teror. Jadi orang Papua tidak meminta pembangunan. Tidak ada.
Harapannya bukan pembangunan tapi memenuhi hak-hak orang Papua?
Jadi orang Papua itu tidak identik dengan kekerasan selama ini yang kami pikir itu ada hubungan dengan pengamanan yang dikirim ke Papua setiap tahun. Jadi kesan orang Papua 'oh mau tekan bupati dan gubernur supaya orang kasih lari ke mereka'. Ada dua lembaga identik dengan kekerasan karena ada dana keamanan.
Akibat kekerasan ini apa dampak yang ditimbulkan?
Saya pikir kekerasan lebih struktural yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga negara. Ini bukan baru terjadi tapi sudah lama sejak tahun 1960-an sebelum jajak pendapat. Tentara dan polisi baru masuk tahun 1960-an itu cari rumah-rumah, mencari orang yang mereka curigai, begitu-begitu. Artinya sudah trauma ya. Belum ada pemulihan-pemulihan di bagian ini pembangunan itu hanya untuk kepentingan perusahaan-perusahaan. Kepentingan orang-orang kaya (Pemodal), kepentingan para pejabat-pejabat yang tidak berdampak apa-apa untuk orang Papua.
Adanya perusahaan-perusahaan tambang itu tidak dirasakan bagi warga Papua?
Kapan dia ada waktu untuk sekolah kalau kesehatan tidak jalan. Logistik tidak berjalan, mereka terus dikejar-kejar. Jadi pembangunan dalam pemikiran kami itu tidak usah. Kalau pembangunan hanya menyengsarakan masyarakat, hanya menguntungkan orang-orang kaya, pemodal, pemerintah dan lain-lain tidak usah ada pembangunan. Orang Papua itu ingin hidup tenang tidak ingin diganggu. Begitu. Tidak usah ada perampasan tanah. Terlalu banyak perusahaan masuk, transmigrasi masuk itu semua akan ambil tanah.
Ini terjadi karena kepercayaan orang Papua terhadap tanah adat?
Jadi kalau hukum-hukum adat, inikan tanah semua ada aturan dan ini tidak dihargai. Jadi adat bilang begini, pemerintah bilang begini, ini perusahaan negara ambil saja. Ini ada transmigran datang, ambil saja. Kan sudah lama begitu. Jadi orang Papua ini kan. Jadi bereskan ini dulu sebelum pembangunan. Dosa-dosa pemerintah tahun 90-an, tahun 80-an. Jadi ini sakit hati di atas sakit hati. Dari generasi ke generasi. Otonomi khusus tidak menolong.
Jadi otonomi khusus itu tiga hal, memproteksi orang Papua, yang kedua memberi penguatan dan yang ketiga keberlanjutan orang Papua. Itu tidak ada. Otonomi khusus itu sendiri sambil jalan tapi ada juga di Jakarta dia bisa bikin aturan-aturan, kebijakan-kebijakan sendiri yang bertentangan dengan ini. Kemudian Kementerian punya ini, jadi banyak aturan yang tidak jalan di Papua. ini yang tidak berhubungan dengan otonomi khusus.
Indonesia sudah tujuh kali ganti presiden apa yang membuat Papua berubah?
Kalau ada keributan berarti belum. Kalau ada kerusuhan berarti belum.
Anda melihat konflik ini ada yang buat?
Saya pikir negara. Konflik itu kadang-kadang diciptakan oleh negara yang tadi, asing sudah tidak ada. Uang triliunan rupiah dan sudah otonomi khusus. Uang tidak hanya dikasih ke negara sementara kan polisi ada di situ. Mereka harus makan. Jadi harus bikin masalah agar dana keamanan itu ada. Itu yang kami pikir dan mungkin kami salah.
Kalau lihat sejarahnya bukan kah peran asing melalui LSM menjadi penyebab konflik?
Tidak ada dan itu yang Presiden Jokowi janji tapi dibatasi oleh Menteri Dalam Negeri, Menkopolhukam. Itu kan sama saja. Presiden yang bicara tapi kaki tangannya bicara lain. Ya kan. Tidak perlu syarat-syarat tapi besok Kapolda dan Menteri Dalam Negeri bicara lain. Jadi orang Papua itu bilang kita saling menipu saja.
Jadi hanya akal-akalan saja?
Presiden Jokowi tak punya niat baik. Konkretnya itu tanggal 26 saya tanya itu kasus Paniai bagaimana? Saya percayakan pada Panglima TNI dan Mabes Polri. Kasus Paniani itu penembakan terjadi pada jam setengah sembilan pagi, dan semua orang lihat itu TNI Polri lakukan dan mereka juga selidiki, itu dari mana, logika di mana? Jadi kalau presiden bisa tipu kiri kanan, tapi masyarakat kan tidak.
[mtf]
Sumber : http://www.merdeka.com/