“Dengan munculnya Pasal 6 dimaksud, itu supaya ada orang asli Papua yang bisa menjadi anggota dewan melalui kursi pengangkatan,” ungkapnya kepada Bintang Papua saat dihubungi via ponselnya, Rabu, (26/5).
Namun, didalam Pasal 6 itu tidak disebutkan seperempat kursi itu diperuntukan untuk adat. Karena kursi adat sebenarnya sudah teralokasikan/diakomodir pada lembaga MRP.
Di tengah perjalanan, lahirlah Perdasus No 6 Tahun 2014 yang kemudian membagi wilayah-wilayah untuk pembagian kursi pada kursi Otsus itu, yang kenyataannya mendapatkan penolakan dari masyarakat adat karena tidak mau wilayah Mamberamo Raya masuk dalam wilayah pemilihan Teluk Saireri.
“Soal pembagian wilayah itu bagi saya sebenarnya tidak menjadi masalah, yang terpenting 14 kursi itu harus terisi dan dilantik dulu. Memang penting juga kalau tidak ada yang menerima Perdasus itu,” tegasnya.
Pertentangan atas Perdasus No 6 Tahun 2014 ini, yang membuat masyarakat adat mengajukan keberatan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Atas keberatan itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memberikan catatan penting terkait Perdasus itu, yang menandakan bahwa Perdasus itu tidak terbuka/transparansi didalam penyusunannya.
“Itu hak rakyat, karena rakyat berhak mempersoalkan sebuah produk hukum daerah yang tidak dibuat secara demokratis, yang tidak memenuhi prinsip-prinsip pembentukan hukum yang baik. Salah satunya prinsip transparansi itu. Ini yang harusnya menjadi perhatian Gubernur Papua dan DPRP,” katanya lagi.
Dirinya menilai bahwa ketika Perdasus disahkan tidak dikonsultasikan ke Kemendagri, ataupun dikonsultasikan, tetapi secara tertutup. Dan saat disosialisasikan, rakyat tahu lalu rakyat melayangkan surat protes ke Kemendagri, misalnya mengenai pembagian wilayah pemilihan dan fraksi kursi adat di DPRP.
Baginya, catatan Mendagri dan penolakan masyarakat itu, harusnya DPRP memfasilitasi dan mengajak masyarakat untuk duduk berbicara, bahwa apakah Perdasus itu jangan dilaksanakan dulu, ataukah dilaksanakan di dalam proses pengangkatan 14 kursi itu, barulah dievaluasi dan diperbaiki pada periode berikutnya.
“DPRP itu harus ingat bahwa mereka (DPRP) wakil rakyat, bukan wakil dari Parpol, jadi kedaulatan rakyat harus di dengar dan berbicara untuk rakyat,” tukasnya.
Menyangkut persoalan fraksi adat di DPRP, kata Yusak, bahwa bila 14 orang itu dilebur dalam fraksi-fraksi di DPRP, maka sebenarnya perjuangan kita tidak ada artinya. Karena sesungguhnya, kita tidak berjuang untuk orang Papua duduk di DPRP saja.
Itu bukan tujuan utama. Tujuan utama ialah 14 orang itu bisa berbicara mewakili orang Paua untuk kepentingan orang Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
“Bila di tata tertib DPRP tidak memungkinkan 14 orang itu membentuk fraksi, maka sesungguhnya kehadiran mereka (DPRP pengangkatan) yang mewakili orang Papua tidak akan nampak dalam pengambilan-pengambilan keputusan politik di DPRP,” imbuhnya.(Nls/don/l03)
Sumber : BintangPapua