Written by Amiruddin al-Rahab
IDENTITAS kolektif selalu berwajah politik, ketimbang berbasis populasi. Karena itu, identitas tidak pernah given. Ia selalu dikonstruksikan secara sosial. Konstruksi identitas kolektif selalu memiliki relasi dengan kekuasaan, baik untuk melegitimasi maupun menekan identitas lain.
Saat ini, terkait dengan Papua, Indonesia sedang memainkan politik identitas tersebut, khususnya identitas Melanesia. Hal itu tampak jelas dari pernyataan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno P Marsudi usai pertemuan bilateral dengan Menlu Vanuatu Salto Kilman di sela acara Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika 2015 di Jakarta. Menurut Retno, “Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 11 juta penduduk Melanesia di Indonesia, di mana jumlah tersebut lebih besar dari jumlah penduduk Melanesia di negara-negara kawasan Pasifik” (Antara, 19/4/15). Dari belasan juta penduduk Melanesia itu, sekitar 3,5 juta jiwa berada di Papua.Identitas Perlawanan
Sejarawan Richard Chauvel (2005) dalam buku Constructing Papuan Nationalism : History, Ethnicity, and Adaptation mencatat bahwa identitas Melanesia belum pernah dipakai sejak tahun 1960-an hingga 1990-an. Identitas tersebut baru dipakai pada era Reformasi. Selain dalam rangka mencari persatuan dalam keberagaman suku di Papua yang sangat heterogen, identitas Melanesia juga dipakai dalam rangka “melawan” tekanan identitas Indonesia.
Begitu pula Leo Suryadinata dalam buku Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Lanscape (2003) yang mencatat bahwa pemerintah kolonial Hindia-Belanda dalam Sensus 1930 tidak mencantumkan etnis Melanesia. Hal serupa dilakukan Pemerintah Indonesia, melalui Biro Pusat Statistik, dalam sensus penduduk tahun 2000. Zulyani Hidayahdalam buku Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (1996) juga tidak menyertakan etnis Melanesia. Dia hanya mencantumkan nama ratusan suku-suku di Papua. Dengan kata lain, sebelum Reformasi, identitas Melanesia nyaris tak pernah dipakai di Indonesia dan Papua.
Mencuatnya identitas Melanesia di Papua seiring dengan menonjolnya peran Vanuatu di kawasan Pasifik dalam rangka memperkuat Melanesian Brotherhood. Tentang Melanesia sebagai identitas politik perlawanan di Papua dapat disimak dalam buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat (2007). Sendius Wonda, penulis buku itu, ingin menunjukkan bahwa Melanesia dalam NKRI adalah korban dari dominasi Indonesia. Pada tahun yang sama, Socrates Sofyan Yoman menulis dan menerbitkan Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Buku itu mengonstruksikan rangkaian kekerasan yang dialami orang Papua bukan sekadar kekerasan, melainkan serangan yang ditujukan untuk merusak identitas Melanesia; karena mereka berbeda dari Indonesia. Kedua buku itu menyiratkan pesan adanya genocide di Papua. Namun, pihak Kejaksaan Agung “mengusulkan” agar kedua buku tersebut dilarang beredar karena dinilai mengandung gagasan-gagasan separatis.
Penegasan identitas Melanesia dalam konstruksi identitas perlawanan Papua dapat dilihat dalam dokumen Konsensus Nasional Papua yang diluncurkan pada 2009 dan menyatakan, “Bangsa Papua berjuang agar mencapai kesadaran bahwa semua orang adalah satu bangsa, yakni Bangsa Papua, rumpun Melanesia dan ras Negroid di Pasifik dan bukan bangsa Indonesia, rumpun Melayu dari Yunan Kamboja.” Sementara Manuel Castells dalam buku The Power of Identity (1997) memperlihatkan bahwa identitas perlawanan (resistance identity) dibentuk dalam kondisi, “those actors that are in positions/conditions devalued and/or stigmatized by the logic of domination, thus building the trenches of resistance and survival on the basis of principles different from, or opposed to, those permeating the institutions of society….” Merujuk pernyataan itu, jelas bahwa identitas Melanesia adalah identitas perlawanan terhadap Indonesia.
Ketika Perdana Menteri Vanuatu Joe Natuman secara tegas mendukung penentuan nasib sendiri bagi Papua di fora internasional dan PBB dengan semangat Melanesian Brotherhood, identitas Melanesia di Papua pun kian menguat. Gairah Vanuatu itu disambut oleh tokoh-tokoh perlawanan Papua. Pada 2013, mereka mendaftar menjadi anggota MSG (Melanesian Spearhead Group), sebuah forum yang menghimpun bangsa-bangsa Papua dalam satu kesatuan ekonomi yang terintegrasi, melalui organ WPNCL (West Papua National Coalition for Liberation). Bulan November 2014, beberapa orang Papua kembali mendaftar ke MSG agar bisa diakui sebagai anggota. Dari proses pendaftaran ke MSG itu terjadi konsolidasi organ politik perlawanan Papua Barat dengan dibentuknya ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) di bawah kepemimpinan beberapa tokoh muda Papua, seperti Octovianus Mote dan Benny Wenda. Besar kemungkinan ULMWP akan diterima menjadi anggota MSG pada 2015.
Pemerintah Indonesia, dalam menyikapi dinamika politik kawasan Pasifik dan gencarnya Vanuatu menggalang Melanesia Brotherhood, hadir dalam pertemuan MSG sebagai peninjau sejak 2011. Selain itu, Indonesia juga masuk dalam percaturan politik Pasifik dengan menjadi anggota Pasifik Island Forum (PIF). Sejak itu diplomasi Indonesia di negara-negara kawasan Pasifik tersebut kian gencar. Ketika Presiden Joko Widodo berkunjung ke Port Moresby pada 2015, Perdana Menteri Papua Nugini Peter CP O’Neill menegaskan bahwa Papua Nugini mendukng penuh keanggotaan Indonesia dalam MSG, karena secara geografis, Indonesia adalah bagian dari Melanesia, dan sebagai bentuk penghargaan kepada Indonesia yang memiliki populasi Melanesia di lima provinsi (Kompas/13/5/15).
Identitas Cangkokan
Identitas cangkokan (legitimizing identity) selalu didorong oleh institusi dominan kepada masyarakat agar dominasinya diterima. Penegasan Menlu Retno Marsudi kepada Menlu Vanuatu di atas jelas bahwa Indonesia sedang berupaya memberikan legitimasi kepada identitas Melanesia. Namun, Melanesia yang dimaksud Retno mencakup Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Artinya, Papua tidak bisa memonopoli dan memakai identitas Papua sebagai identitas perlawanan. Hal itu juga bisa dimaknai secara keseluruhan Indonesia lebih berhak memakai identitas Melanesia ketimbang hanya Papua saja.
Apakah kejutan dari Menlu Retno itu semacam pijakan paradigma baru diplomasi Indonesia dalam menghadapi perkembangan Melanesian Brotherhood yang dimainkan Papua bersama negara-negara pulau di kawasan Pasifik? Jika memang demikian, maka bisa dibaca bahwa Indonesia memandang Vanuatu telah memainkan politik kawasan yang sangat signifikan di Pasifik, khususnya dalam menopang isu-isu Papua di fora internasional, sebagai satu-satunya negara yang terang-terangan mendukung penentuan nasib sendiri bagi Papua. Walaupun jumlah penduduknya hanya sekitar 250.000 jiwa serta komunitas kecil dari seluruh “orang” Melanesia di kawasan Pasifik, namun dengan status sebagai negara mandiri dan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, nilai suara Vanuatu dalam organisasi PBB setara dengan negara mana pun.
Hal yang perlu dicatat dari upaya memperluas identitas Melanesia itu adalah apakah akan serta-merta menyingkirkan identitas Melanesia bentukan kelompok-kelompok perlawanan Papua? Apakah itu juga akan menghentikan manuver politik Vanuatu dalam mendukung perlawanan Papua Barat? Tentu tidak! Menurut Manuel Castells, identitas perlawanan selalu disusun dengan mempertimbangkan sejarah, geografi, biologi, bahkan religi. Semua faktor penentu dan pembeda itu hanya ada di Papua.
Mencangkokkan identitas Melanesia ke Maluku dan NTT bisa menjadi bumerang ketika ketidakadilan pembangunan terus terjadi di kedua provinsi itu. Ketika kekecewaan mengkristal dan menumpuk karena senantiasa dianaktirikan, tidak tertutup kemungkinan NTT dan Maluku akan berpindah kiblat dari Jakarta ke Pasifik bersama dengan Papua. Identitas Melanesia di NTT dan Maluku tidak memiliki akar sejarah politik yang memadai. Keduanya juga tidak pernah berbagi identitas Melanesia. Pemerintah Indonesia tengah mencoba menjadikan Kupang sebagai pusat kebudayaan dan seni Melanesia, namun itu tidak cukup. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan identitas Melanesia yang dicangkok paksa di NTT dan Maluku akan berhadapan langsung dengan penolakan. Jika itu terjadi, Indonesia akan menjadi tertawaan dalam kancah diplomasi di kawasan Pasifik.
Karena itu, sebelum melangkah terlalu jauh, pencangkokan identitas Melanesia ke NTT dan Maluku demi membendung Papua bermain mata dengan Vanuatu sebaiknya dikaji ulang. Indonesia tidak perlu terpancing dan terpengaruh manuver Vanuatu yang berjanji akan memberikan keanggotaan kepada ULMWP dalam masa sidang MSG bulan Mei 2015 ini.
Semoga.***
Sumber : http://www.prismaresource.com