“Di tahun ini, tidak hanya Gubernur, Sekda atau Dinas Pendidikan yang melakukan monitoring program ADIT maupun ADIM, tetapi DPR melalui Komisi D yang membidangi pendidikan harus terlibat dalam tim monitoring pelaksanaan program ADIT dan ADIM,” kata Trogea kepada Tabura Pos di Kantor DPR Papua Barat, Kamis (2/2).
Lanjut Trogea, untuk melakukan fungsi pengawasan, legislatif dan eksekutif bisa membentuk tim monitoring untuk mendatangi kota studi. Dicontohkannya, program ADIT untuk anak-anak Papua Barat yang sekarang mengenyam pendidikan di China, Jerman, Australia, dan Brisbane atau di dalam negeri seperti di Makassar, Surabaya, Makassar dan lain sebagainya.
ilustrasi - kuliah-perdana-papua-cina |
Disebutkannya, tim monitoring program harus melibatkan tim dari legislatif, karena laporan tertulis dari instansi terkait itu benar, tetapi belum tentu benar bagi pihak legislatif.
“Misalnya anak-anak kita yang lagi studi di China, Jerman, dan Australia, apakah mereka masih kuliah sampai sekarang? Memang data tertulis ada, tetapi kita perlu melihat fisiknya,” jelas Trogea.
Diungkapkan Trogea, program ini bersumber dari dana Otsus, misalnya pada Tahun Anggaran 2017, dialokasikan sekitar Rp. 50 miliar. “Anggaran besar, maka kita sama-sama harus mengontrol. Jangan sampai bukti di atas kertas tidak sama dengan bukti fisik di lapangan,” katanya.
Ia membeberkan, setiap tahun pihaknya menerima laporan dari instansi terkait, tetapi fisiknya belum pernah dilihat oleh DPR Papua Barat, terkait jumlah, tempat tinggal, biaya transportasi, dan nilainya seperti apa.
“Kami tentu berharap setelah mereka selesai studi bisa pulang dan mengabdi di Papua Barat, misalnya mahasiswa kita yang studi di China,” pungkas Trogea. [FSM-R1/www.pasificpos.com/]
FRAKSI FRAKSI OTSUS MAHASISWA MANOKWARI MONITORING OTSUS PAPUA BARAT PENDIDIKAN