LONDON - Benny Wenda, Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), melansir penjelasan untuk menanggapi apa yang menjadikan dirinya selama sepekan terakhir dituduh oleh pemerintah RI sebagai penyebar hoax, berusaha memanipulasi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan bahkan disebut menipu sejumlah kepala negara Pasifik demi agenda separatisnya.
Benny Wenda sebelumnya mengatakan telah menyerahkan petisi referendum Papua kepada Komisi Khusus Dekolonisasi PBB yang dikenal juga sebagai C24. Namun, pernyataan itu dengan telak dibantah oleh ketua Komisi tersebut, yang juga merupakan Wakil Tetap/Duta Besar Venezuela untuk PBB, Rafael Ramirez.
"Sebagai Ketua Komite Khusus Dekolonisasi PBB (C-24), saya maupun Sekretariat Komite, tidak pernah menerima, secara formal maupun informal, petisi atau siapapun mengenai Papua seperti yang diberitakan dalam surat kabar The Guardian," demikian pernyataan Duta Rafael Ramírez, di markas besar PBB di New York, (28/09).
Ia juga membantah telah menjalin komunikasi dengan Benny Wenda. Lebih jauh, ia memastikan bahwa baik sebagai seorang Dubes maupun sebagai ketua C24, dirinya menghormati dan mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua.
Ramirez menuduh ada pihak-pihak yang berusaha memanipulasi dirinya dan PBB sebagai bagian dari propaganda.
Pernyataan Ramirez yang menjadi viral (terutama karena didukung oleh klip video wawancara langsung dengan dirinya), membuat Indonesia melancarkan tuduhan bahwa Benny Wenda sedang menyebar hoax. Delegasi RI mengatakan petisi referendum Papua dan klaim telah menyerahkannya kepada PBB hanya sebuah upaya menarik perhatian.
Namun dalam perkembangan terbaru, Benny Wenda memberikan penjelasan tentang tuduhan hoax tersebut. Lewat akun FB-nya dan melalui situs pribadinya, Benny Wenda bersikukuh bahwa baik petisi referendum Papua maupun penyerahannya kepada pejabat PBB bukan hoax.
"Petisi rakyat Papua bukan hoax, ini suara rakyat kami - yang ditandatangani oleh mayoritas rakyat Papua," tulis Benny Wenda di akun FB-nya yang diterbitkan pada hari ini (01/10).
"Minggu ini saya menyampaikan sebuah petisi yang ditandatangani oleh mayoritas rakyat Papua ke PBB, meminta PBB untuk bertindak atas pelanggaran HAM di Papua dan untuk melaksanakan komitmen PBB tahun 1962 yaitu untuk memastikan rakyat Papua memiliki kesempatan secara bebas menggunakan hak mereka untuk penentuan nasib sendiri," kata dia dalam bagian lain pernyataannya.
"Saya secara pribadi menyerahkan 1,8 juta suara rakyat saya kepada seorang perwakilan senior di PBB, di hadapan pimpinan ULMWP, Rex Rumakiek dan pengacara yang memberi nasihat atas gerakan kami. Saya juga mengkomunikasikannya kepada Sekretariat Komite Dekolonisasi dan Komite Politik dan Dekolonisasi Khusus (Panitia Keempat) Majelis Umum PBB, dengan permintaan agar PBB meninjau kembali situasi Papua," tulis Benny Wenda, yang dicap separatis oleh pemerintah Indonesia dan sejumlah media Barat.
Banyak orang kini menanti-nanti bukti klaim adanya pertemuan tersebut, atau bila tidak ada, Benny Wenda tengah membuat pernyataan hoax berikutnya. Beberapa komentar di akun FB tersebut meminta Benny Wenda melansir foto yang membuktikan adanya pertemuan. Tetapi belum ada jawaban.
Menunggu Bukti Pertemuan
Sebelumnya, satuharapan.com menerima dua buah foto yang menggambarkan adanya pertemuan antara Benny Wenda dengan Ramirez, tetapi belum dapat memastikan apakah foto tersebut asli atau rekayasa. Pihak ULMWP, yang merupakan sumber foto tersebut, meminta agar foto itu tidak dipublikasikan.
Dalam salah satu foto, tampak Benny Wenda dan Rex Rumakiek menyerahkan sebuah dokumen yang sangat tebal, yang tampaknya telah dijilid sedemikian rupa sehingga berbentuk buku. Dokumen tebal sejenis, pernah terlihat dalam sebuah foto yang menunjukkan Benny Wenda menyerahkannya kepada Jeremy Corbyn, ketua Partai Buruh Inggris.
Dalam foto kali ini, dokumen tersebut diserahkan kepada Ramirez di sebuah ruangan yang tampaknya adalah ruangan kerja sang Dubes. Namun, salah satu yang menimbulkan keraguan adalah gambar yang terpampang di dinding ruangan. Gambar itu merupakan foto diri Dubes bukan bersama dengan presiden Venezuela saat ini Nicolas Maduro Molos, melainkan foto bersama dengan Hugo Chavez, mantan presiden Venezuela yang sangat populer dan sudah meninggal. Satu gambar lagi di dinding ruangan juga bukan merupakan foto presiden Venezuela melainkan berupa lukisan sketsa Hugo Chavez.
Foto lainnya yang juga menggambarkan pertemuan di ruangan yang sama, tampak Benny Wenda sedang menjelaskan isi dokumen itu kepada sang Dubes, disaksikan oleh Rumakiek. Seseorang yang tampaknya staf Ramirez, tampak berdiri di belakangnya. Sekali lagi, belum ada konfirmasi kesahihan foto ini.
Anggota Tim Kerja ULMWP, Markus Haluk, membenarkan adanya pertemuan dengan Dubes Ramirez namun, kata dia, sebetulnya pertemuan tersebut tidak hendak dipublikasikan.
"Pada hari Selasa 26 September 2017, Jurubicara ULMWP didampingi anggota ULMWP Tuan Rex Rumakiek sudah menyerahkan petisi ke tangan Ketua Komisi Dekolonisasi PBB. Respon Ketua sangat positif," kata Markus Haluk.
Namun, Markus Haluk meminta agar foto tersebut tidak dipublikasikan.
Sementara itu pernyataan resmi ULMWP tidak dengan tegas mengatakan apakah petisi referendum Papua tersebut diserahkan langsung kepada pejabat PBB. Pernyataan ULMWP hanya menegaskan bahwa petisi itu telah dengan aman disampaikan kepada PBB.
"ULMWP dengan tegas berkomitmen untuk menggunakan mekanisme PBB untuk menyelesaikan hak masyarakat Papua atas penentuan nasib sendiri, sesuai dengan peta jalan ULMWP untuk kemerdekaan. Untuk mencapai hasil ini, ULMWP akan terus mengumpulkan dukungan dan pengakuan dari semua negara dan forum di semua wilayah dan sub-wilayah di dunia termasuk, namun tidak terbatas pada, Melanesia, Pasifik, Afrika, dan Karibia. Kita mengejar tujuan ini untuk mewujudkan keinginan mulia rakyat kami agar Papua menjadi negara yang mandiri, berdaulat dan memerintah sendiri," demikian pernyataan ULMWP.
"Komite Dewan ULMWP, yang memiliki mandat untuk mengatur organisasi dan mengarahkan usaha Eksekutif, secara terbuka menegaskan bahwa petisi tersebut, yang mengungkapkan aspirasi rakyat Papua, telah dikirim dengan aman ke markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York."
Adanya klaim pertemuan dan adanya bantahan dari sang Dubes menyisakan pertanyaan keterangan mana kah yang dipercaya. The Guardian menyiratkan bahwa bantahan Ramirez tentang ada tidaknya pertemuan lebih kepada pertemuan dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi Dekolonisasi PBB.
Adanya petisi tersebut sesungguhnya sudah diketahui lama. Bulan lalu sejumlah perenang Inggris melakukan aksi berenang di Danau Jenewa dengan tujuan menyerahkan dokumen petisi tersebut kepada Dewan HAM PBB di Jenewa. Benny Wenda tidak jadi menyerahkan dokumen itu ketika itu, dan memutuskan akan menyerahkannya di Sidang Umum PBB.
Namun, puncak pemberitaan petisi tersebut adalah pada 26 September lalu, ketika The Guardian, salah satu surat kabar terkemuka di Inggris, melansir berita tentang telah diserahkannya petisi tersebut kepada PBB. Berita tersebut menjadi salah satu trending topic di dalam maupun di luar negeri.
Pemberitaan itu, sayangnya, tidak menyebutkan siapa pejabat PBB yang menerimanya, kapan dan dimana persisnya, salah satu alasan mengapa satuharapan.com tidak memuatnya.
Ketika The Guardian pertama kali memuat berita adanya petisi referendum Papua, satuharapan.com meminta konfirmasi kepada Armanantha Nasir, jurubicara Kementerian Luar Negeri, lewat pesan WA, perihal kebenarannya dan apa tanggapan Indonesia. Tetapi tidak mendapat respons.
Bukan Sekadar Kertas
Sebagaimana retorika yang kerap dia pakai dalam menyuarakan aspirasi penentuan nasib sendiri rakyat Papua, Benny Wenda mengatakan petisi yang dia bawa tersebut lebih dari sekedar kertas.
"Tanda tangan-tanda tangan ini adalah tulang dan darah bangsa saya yang telah terbunuh dan yang telah menderita; dan yang terus menderita dan mati di bawah pendudukan Indonesia. Petisi ini dihadirkan dengan air mata di mata saya....."
"Karena saya menerima nama dan tanda tangan ini, saya merasakan sebuah tanggung jawab dan kehormatan yang besar. Petisi adalah upaya mobilisasi massa yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh rakyat saya, yang dilakukan dan disampaikan kepada saya dengan risiko pribadi yang besar - di bawah ancaman kekerasan, penangkapan dan penyiksaan."
"Saya telah membawanya bersama saya dalam setiap perjalanan yang telah saya lakukan sejak saya menerimanya, termasuk ke parlemen Inggris, ke PBB di Jenewa dan di New York. Saya telah menunjukkannya kepada semua orang yang saya temui, termasuk para pemimpin politik, teman, dan delegasi PBB."
"Ini adalah tanggung jawab saya dan saya tidak akan pernah mengecewakan rakyat saya. Petisi tersebut adalah suara demokratis rakyat Papua dan tidak akan mau dibungkam atau haknya ditolak."
Menurut Benny Wenda, petisi itu ditandatangani oleh 1.804.421 orang terdiri dari 1.708.167 penduduk asli Papua dan 96.254 pemukim dari Indonesia.
"Jumlah penandatangan asli mewakili sekitar 70,88 persen penduduk asli Papua berdasarkan penelitian independen terbaru.
Hal ini menunjukkan kepada dunia apa yang akan terjadi pada tahun 1969 jika kami diberi suara bebas dan adil yang dijanjikan kepada kami oleh PBB dan di mana kami berhak mengikuti hukum internasional."
"Papua seharusnya telah menjadi negara Melanesia merdeka pertama - sebelum Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Fiji dan Kaledonia Baru," tulis Benny Wenda.
Bagi Indonesia, Benny Wenda sudah jelas bukan tokoh yang kredibel. Menurut Duta Besar RI untuk PBB, Triansyah Djani, ini bukan kali pertama kelompok separatis Benny Wenda menyebarkan hoax dan kebohongan kepada publik. Menurut dia, kebohongan selalu disampaikan separatis setiap kali ada pertemuan besar yang dihadiri para pejabat tinggi PBB.
"Tahun lalu Benny Wenda pernah menyebutkan bahwa telah menyerahkan dokumen mengenai Papua kepada Sekjen PBB, namun setelah dikonfirmasi ke kantor Sekjen PBB ternyata bohong," kata Triansyah. (SATUHARAPAN.COM)