Papua dan Isu Referendum*

Dave Laksono. (foto: dpr.go. id)
HIRUK-pikuk berbagai isu di media nasional akhir-akhir berakibat pada melemahnya perhatian pemerintah terhadap masalah Papua. Bangsa ini begitu sibuk dengan isu PKI, pembubaran ormas, penolakan atas Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas, Pansus Angket KPK, hingga pergulatan politik menjelang tahun politik 2018.
Tentu isu-isu tersebut adalah bagian dari dinamika kebangsaan yang juga perlu mendapat perhatian, tetapi persoalan  jauh lebih serius menyangkut kesatuan NKRI yakni permasalahan Papua jangan luput dari perhatian. Permasalahan Papua seolah tidak mendapat porsi perhatian  seimbang dengan perhatian kepada persoalan “Politik Jakarta”.
Secara diam-diam, luputnya perhatian atas masalah Papua membuat gerakan separatis di Papua makin gencar melakukan aksi konsolidasi. Gerakan separatis memanfaatkan situasi “keributan” politik Jakarta untuk menghidupkan kembali semangat perpecahan yang juga meluas sampai ke negara-negara asing seperti Australia dan Selandia Baru.

Baca: Benarkah Masalah Papua Mendekati Magrib?
Fenomena saat ini terjadi di Spanyol dimana rakyat Catalunya telah melakukan referendum untuk menjadi negara merdeka (pisah dari Spanyol) bukan tidak mungkin akan terjadi di Papua. Analisa dari Marinus Yaung, dosen hubungan internasional FISIP Universitas Cendrawasih (Uncen) beberapa waktu lalu pada sebuah media  dengan judul “Jokowi, Papua Menuju Referendum” patut untuk dicermati.
Dalam tulisan tersebut, dianalisis bahwa prakondisi menuju referendum  sudah terjadi saat ini dan pemerintah sepertinya tidak pernah mau menyoroti akar utama persoalan Papua. Padahal akar persoalan utama sesungguhnya telah dirancang secara masif dan sistematis untuk menjadi batu pijakan politik referendum.
Akar persoalan tersebut adalah menyangkut janji pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi Papua, dimana isu pelanggaran HAM menjadi isu paling sensitif dan mendapatkan perhatian dunia internasional.
Beberapa waktu lalu, isu pelanggaran HAM pernah diangkat dalam persidangan Majelis Umum PBB melalui Negara Kepulauan Marshall, Nauru, Palau, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu yang menyatakan pendapatnya dalam forum internasional tersebut mengenai kekhawatiran mereka terhadap isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia.

Baca : Politisi Australia Usul Kibarkan Bintang Kejora Tiap 1 Desember
Perdana Menteri Kepulauan Solomon Manasseh Sogavare menyatakan, pelanggaran HAM dan perjuangan menentukan nasib sendiri Papua Barat adalah dua hal  ada pada koin yang sama. Kelompok tersebut meminta agar pemerintah Indonesia segera mencabut status operasi keamanan terhadap Papua, membebaskan tahanan politik, mencabut larangan peliputan jurnalis serta memberikan akses kepada pengamat independen untuk melihat situasi di Papua.
Tidak hanya itu, Parlemen Uni Eropa pun pada persidangan awal tahun 2017 mengecam pelanggaran HAM di Papua.  Tuntutan Parlemen Uni Eropa adalah meminta kepada pihak berwenang Indonesia mencabut semua tuduhan  dikenakan terhadap semua aktivis Papua yang menyuarakan pendapat mereka untuk menggelar referendum Papua.
Desakan Parlemen Eropa tersebut dilandasi Partnership Cooperation Agreement  (PCA) yang ditandatangani oleh Indonesia-Uni Eropa pada 01 Mei 2014 dalam rangka kerja sama dengan salah satu prasyarat mengenai penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Perlu Diplomasi
Bukan Sekedar Pendekatan Ekonomi
Penyelesaian masalah Papua memerlukan diplomasi pemerintah secara serius. Diplomasi yang dimaksudkan di sini yang berpegang pada prinsip politik luar negeri bebas aktif.
Pemerintah harus memanfaatkan semua kekuatan diplomasi untuk menjaga Papua. Kita selalu mendengar slogan “NKRI Harga Mati”, maka slogan tersebut jangan sekedar slogan tetapi harus dapat diwujudkan dalam aksi nyata.

Baca: Jokowi Tak Serius Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat di Papua
Selama ini penyelesaian masalah Papua hanya didekati dengan pendekatan ekonomi. Anggaran dikucurkan melalui APBN untuk pembangunan Papua semakin besar.  Dalam satu tahun anggaran 2016 total dana  dialokasikan baik dana kementerian, lembaga, dana transfer ke daerah ke Provinsi Papua maupun Papua Barat mencapai Rp 85,7 triliun.
Anggaran sebesar itu merupakan bagian dari komitmen pemerintah pusat untuk mempercepat proses pembangunan  terutama pembangunan infrastruktur untuk menjamin pemerataan pembangunan yang berkeadilan.
Tentu komitmen pemerintah  membangun ekonomi Papua harus diapresiasi. Komitmen tersebut adalah wujud nyata perhatian pemerintah  mempercepat proses pembangunan infranstruktur dan mendekatkan rakyat Papua pada tingkat kesejahteraan.
Namun pertanyaannya apakah solusi ekonomi yang coba dimasifkan  pemerintah merupakan satu-satunya solusi yang tepat? Tentu saja tidak.
Persoalan Papua sebenarnya adalah bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi muatan kepentingan politiknya lebih besar, terutama terkait dengan isu pelanggaran HAM dan kemerdekaan tanah Papua.

 Baca: Tegas! Ini Peringatan Tokoh Papua Soal Ancaman NFRPB ke Jokowi
Isu pelanggaran HAM sudah menjadi isu internasional maka jika isu ini tidak terselesaikan dapat meluas menjadi isu politik lebih besar sampai pada gerakan untuk menghidupkan kembali referendum Papua. Dan gerakan untuk menghidupkan referendum itu sedang terjadi di Papua.
Beberapa hari lalu sebuah petisi rahasia yang menuntut referendum kemerdekaan untuk Papua Barat telah dipresentasikan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Petisi tersebut konon telah diselundupkan di desa-desa.
Petisi menuntut pemungutan suara bebas mengenai kemerdekaan Papua Barat serta pengangkatan perwakilan PBB untuk menyelidiki laporan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan Indonesia.
Kita harus belajar dari referendum Catalunya yang saat ini sedang menyita perhatian dunia internasional dimana rakyat Catulunya memilih untuk memisahkan diri dari Spanyol. Persoalan politik yang tidak terkelola dengan baik akhirnya membuncah (mengacaukan) ketika sentimen rakyat Catalunya pecah dengan diadakannya referendum.

Baca: Petisi Rahasia Tuntut Referendum Papua Barat Disampaikan Ke PBB
Jadi, jika pemerintah tidak memberikan perhatian pada sentimen kemerdekaan Papua dan menggap persoalan telah selesai hanya dengan pendekatan ekonomi, maka referendum Catalunya bukan tidak mungkin dapat meluas sampai di tanah Papua.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mengendalikan isu referendum di Papua? Jawabannya diplomasi pemerintah harus semakin gencar menyentuh akar utama persoalan Papua. Pemerintah harus memberikan perhatian yang lebih terhadap penyelesaian masalah Papua.
Pemerintah harus intensif melakukan diplomasi untuk memberikan keyakinan pada dunia internasional bahwa pemerintah mempunyai komitmen untuk menyelesaikan masalah Papua.
Di sinilah tantangan politik luar negeri bebas aktif. Secara aktif pemerintah harus mampu meyakinkan dunia internasional bahwa pemerintah menjamin keamanan rakyat Papua termasuk di dalamnya mereka yang bertentangan dengan pemerintah.
Pada level domestik, penanganan masalah Papua juga harus dengan pendekatan humanis dan dialog. Pemerintah harus menempuh mekanisme komunikasi yang lebih baik dengan rakyat Papua.
Kemunculan isu referendum Papua jangan ditanggapi secara reaktif tetapi harus menjadi momentum untuk memberikan perhatian yang lebih besar lagi pada masalah Papua.
Sebagaimana pidato Bung Karno tanggal 4 Mei 1963 di Jayapura, Irian Jaya adalah wilayah yang sejak dahulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Maka tugas dan tanggung jawab kita semua adalah menjaga agar Papua tetap menjadi wilayah NKRI.
Papua adalah NKRI dan NKRI adalah Papua. Kita semua cinta pada Papua, maka berikanlah perhatian yang lebih kepada Papua. ***
*Opini ini ditulis oleh Dave Akbarshah Fikarno Laksono
Anggota Komisi Luar Negeri dan Pertahanan DPR RI

Disqus Comments