Setelah sempat dibantah, polisi akhirnya mengakui telah membeli senjata dengan spesifikasi militer. Ini menunjukkan satu hal: militerisasi polisi tengah berlangsung makin intensif.
Polisi berdalih, alat pelontar granat yang mampu melumpuhkan kendaraan lapis baja itu dibeli untuk menghadapi separatisme di Papua dan terorisme di Poso. Artinya, akan dipakai untuk memerangi rakyat sendiri.
Ini menunjukkan hal lain yang mengkhawatirkan: pendekatan keamanan makin mengemuka. Alih-alih akan memadamkan separatisme dan terorisme, pendakatan keamanan justru akan berdampak sebaliknya.
Polisi adalah aparat penegak hukum sipil. Memakai pendekatan militer untuk memecahkan problem sipil adalah kekeliruan besar yang sebenarnya sudah dikoreksi lewat reformasi yang merontokkan Orde Baru. Akankah kita mengulang kekeliruan sama?
Trend militerisasi polisi (menjadikan polisi mirip militer) sebenarnya tidak khas Indonesia. Dengan dalih “war on terror”, beberapa negara mempersenjatai polisi makin mirip tentara. Contohnya adalah Tim SWAT (Special Weapons and Tactics) di Amerika Serikat dan Brigade Mobil (Brimob) di sini.
Tak hanya senjata kaliber lebih berat. Militerisasi polisi dicerminkan juga oleh kegiatan memata-matai warga negara sendiri, terutama aktivis politik dan tokoh-tokoh publik. Ini sangat rawan disalahgunakan oleh mereka yang berkuasa.
Militerisasi polisi dikecam sebagai jalan menuju pemberangusan kebebasan sipil. Pada dasarnya menuju sistem masyarakat yang anti-demokrasi.
Setelah Tragedi WTC, memerangi dan memperlakukan warga sipil dengan cara militer memperoleh pembenaran dari istilah “civilian combatan” yang diperkenalkan oleh Pemerintahan George Bush. Di sini, batas antara sipil dan militer menjadi kabur.
Ketakutan publik pada terorisme cukup beralasan. Tapi, sudah pula banyak kajian internasional yang menunjukkan, “war on terror” dimanfaatkan oleh pemerintah yang berkuasa untuk memberangus oposisi dan mempersempit ruang kebebasan serikat, berekspresi, serta melakukan protes.
Separatisme pertama-tama dan terutama adalah problem sipil. Gerakan memisahkan diri dimulai dari ketidakpuasan politik, sosial dan ekonomi. Solusinya politik, sosial dan ekonomi; bukan senjata.
Militerisasi polisi di Papua seperti mengguyur bensin ke sekam yang membara. Selama ini telah banyak kasus kebrutalan polisi dan militer terhadap warga di sana.
Pendekatan militer oleh polisi juga akan menjadi kampanye internasional empuk bagi kelompok pro-kemerdekaan Papua. Mereka bisa bilang: “inilah contoh bagaimana Indonesia meredam aspirasi warga Papua dengan cara kekerasan demi melestarikan penjajahan di tanah kami.”
Lihatlah apa yang sudah terjadi di Timor Timur. Sebaliknya, kita juga bisa belajar dari Aceh. Puluhan tahun Gerakan Aceh Merdeka tak bisa dipadamkan lewat jalan kekerasan. Solusi politik lah yang memadamkannya, meski itu dipaksa oleh tragedi tsunami kolosal.
Alih-alih meredam separatisme, militerisasi polisi di Papua justru akan potensial mempercepat kemerdekaannya. (watyutink.com)