HRWG: Batalkan Perppu Ormas!

Ilustrasi. Pendukung Hizbut Tahrir, sebuah gerakan politik Palestina yang menyerukan kembalinya negara Islam di dunia Arab, melakukan protes pada 28 Mei 2014 di kota Hebron, Tepi Barat (Foto: AFP/Hazem Bader)

JAKARTA,  - Human Rights Working Group (HRWG), sebuah koalisi NGO HAM Indonesia, menegaskan Pemerintah harus membatalkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, yang dinilai berseberangan dengan prinsip dan norma hak asasi manusia (HAM). 
HRWG, melalui siaran pers Direktur Eksekutif HRWG, Muhammad Hafiz, yang diterima satuharapan.com hari ini (13/07). menegaskan Perppu potensial melanggar hak kebebasan berekspresi, berkumpul dan berorganisasi yang dijamin oleh Konstitusi dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
HRWG mengakui bahwa pemerintah memiliki kewajiban konstitusional dan hak asasi manusia untuk mengatur dan membatasi individu, kelompok maupun organisasi yang menyebarkan kebencian, permusuhan dan melakukan kekerasan berdasarkan ras, suku, agama, identitas tertentu, dan pilihan politik. 
Di sisi yang lain, HRWG menyayangkan tindakan reaktif Pemerintah untuk merespon situasi saat ini dengan mengeluarkan Perppu tersebut.
"Perppu ini tidak memperbaiki substansi UU Ormas yang di antaranya mengatur tentang penodaan agama. Sebaliknya, Perppu ini mengintrodusir tindak pidana baru yaitu penistaan agama, memperluas unsur pidana ujaran kebencian atau permusuhan yang tak lazim, yaitu kepada penyelenggara negara."
Padahal, dalam catatan HRWG, pasal penghinaan atau ujaran kebencian terhadap penyelenggara negara justru seringkali digunakan untuk membungkam kebebasan sipil dan ekspresi yang sebetulnya termasuk dalam jaminan hukum di Indonesia. Dengan adanya klausul permusuhan terhadap penyelenggara negara ini, PERPPU ini membangkitkan kembali tindakan anti-subversif/ draconian yang pernah ada pada masa lalu.
Selain itu HRWG menilai prinsip pembatasan yang ada pada Perppu ini  tidak utuh. Meskipun Perppu ini mencantumkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), sayangnya prinsip pembatasan menurut ICCPR tidak secara menyeluruh diadopsi, sehingga alasan yang legitimit (legitimateaim) yang memungkinkan adanya pembatasan justru masih bersifat ambigu dan potensial disalahgunakan. 
Salah satu hal penting yang harus ditegaskan dalam pembatasan, misalnya, menurut HRWG, adalah ketentuan batas waktu pembatasan bila memang dibutuhkan dalam situasi darurat, yang tidak diatur di dalam PERPPU. Artinya, pembatasan terhadap hak-hak yang dijamin konstitusi, seperti kebebasan berekspresi, berorganisasi, berkumpul, hanya dapat dilakukan dalam waktu yang terukur dan jelas.
HRWG juga menyayangkan penghapusan prosedur pengadilan. "Salah satu catatan penting yang sangat disayangkan dalam PERPPU ini adalah penghapusan mekanisme pengadilan yang telah diatur secara jelas di dalam UU Organisasi Kemasyarakatan sebelumnya. Padahal, mekanisme pengadilan adalah prosesur yang niscaya ada dalam pembatasan hak-hak tertentu menurut ICCPR."
"Mekanisme pengadilan menegaskan pentingnya transparansi proses pembubaran sebuah organisasi dan mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dari eksekutif, karena di dalamnya organisasi atau siapapun yang menjadi sasaran pembatasan dapat mengajukan keberatan dan berargumen tentang apa yang disangkakan. Apalagi, Perppu sama sekali tidak mengatur tentang mekanisme keberatan setelah sebuah organisasi dibubarkan."

"Pemerintah harus membatalkan Perppu dan menjalankan rekomendasi Universal Periodical Review (UPR)  tahun 2012 tentang revisi UU Ormas dengan menghapuskan pasal-pasal bias yang potensial mengkriminalisasi kebebasan sipil, menegaskan kembali mekanisme pengadilan untuk proses pembubaran ormas, dan menjamin adanya mekanisme keberatan," demikian seruan HRWG. 
"DPR RI harus menolak keberadaan Perppu tersebut sesuai dengan prinsip pembatasan hak, serta mengembalikan mekanisme pengadilan yang sebelumnya telah dimuat di dalam UU Ormas yang lama."

Disqus Comments