Beriman kepada Kepalsuan

Kehadiran media sosial makin menentukan masa depan kita. Padahal makin banyak pula kepalsuan di dalamnya. 

 Masuk akal kenapa film Kong : Skull Island (2017) yang dirilis pertama sekali di Amerika pada 10 Maret lalu dan box office dalam dua minggu (308 juta dollar di seluruh dunia) disetting secara retro pada 1973. Berbeda dengan film King Kong (2005) yang lebih kekinian, film remake kali ini mengambil momen ketika teknologi komunikasi dan informasi belum sekompleks sekarang.
Berawal dari misteri saat perang dunia II, sepasukan elite militer Amerika Serikat bersama ilmuwan dan wartawan perang melakukan sebuah ekspedisi rahasia di Pulau Tengkorak, yang sebenarnya telah terintip-intip melalui citra satelit tentang adanya makhluk-makhluk unik raksasa yang mengalahkan pasukan AS saat melawan pasukan Jepang 29 tahun lalu (1944).

Ternyata pulau itu memang diisi oleh sejumlah makhluk predator seperti burung kuno (Pterosaurus), kadal pengisap tengkorak (Skullcrawlers), gurita raksasa, dan kera raksasa penjaga pulau: Kong. Kisah fiksi ini memang mengandung dua pesan utama. Pertama, siapa saja yang menguasai informasi akan menguasai dunia dan kedua, jika mengelola informasi secara keliru bisa berakibat fatal bagi penggunanya.
Kong mengambarkan AS sebagai negara paling maju dalam mengetahui misteri dunia karena teknologi informasinya. Namun karena kecerobohan pasukan militer menganalisis informasi mereka hancur-lebur. Mereka berencana membunuh Kong padahal musuh sebenarnya adalah makhluk-makhluk jahat lainnya.

Zaman informasi berubah

Bayangkan jika film Kong disetting saat ini. Pasti isu tentang adanya makhluk asing itu sudah ramai digosipkan di telepon pintar (smart phone) dan diproduksi sedemikian massif di media sosial. Sekelompok warga dunia (muslim) bisa saja membuat analisis bahwa dajjal telah bangkit di bumi dan pintu taubat telah tertutup. Analisis lain bisa juga menyebutkan AS bisa ditaklukkan oleh Kong, makhluk pelindung orang-orang lemah yang dianiaya negeri Paman Sam.
Konstruksi media pun kini berubah. Sejak kelahiran facebook dan twitter, “media sosial” ikut mengubah kultur komunikasi warga dunia. Sebenarnya istilah media sosial juga kurang begitu tepat, karena aspek tanggung-jawab sosial kadang diabaikan. Namun definisi ini digunakan untuk membedakan fungsinya dengan media publik konservatif.
Meskipun demikian, facebook dan twitter pernah menjadi bagian gerakan sosial baru seperti saat Pilpres Barrack Obama pada 2008 dan menjadi momentum demokratisasi di Timur-tengah dan Mediterania Islam pada 2011. Namun di belahan dunia lain, seperti Indonesia facebook dan twitterbekerja dengan logika dualistik: membagi pengetahuan kritis sekaligus fitnah-fitnah hitam seperti saat Pilkada  DKI 2012 dan Pilpres 2014.    

Perkembangan dunia internet yang semakin global juga melahirkan fonema media massa seperti Wikileaks. Wikileaks bekerja bak tentara elite menjebol pusat-pusat kebekuan informasi publik karena dikuasai negara dan “pusat kekuasaan dunia”. Namun Wikileaks bisa memporak-porandakan mesin penyimpanan itu dan meretasnya kemudian membaginya ke publik secara murah. Sejak 2010 Wikileaks berhasil membocorkan dokumen-dokumen perang AS di Afganistan, Irak, dan Suriah dan memperlihatkan hipokrisi AS sebagai kampiun demokrasi dan humanisme.
Salah satu paling kontroversial ketika Wikileaks membocorkan kebohongan Hillary Clinton saat menjadi menteri luar negeri. Email-email pribadi tentang rencana pembunuhan Osama Bin Laden dan dusta dibalik perang Libya diketahui publik internet (netizen) apa adanya. Skandal ini menyumbang kekalahannya saat pemilihan Presiden AS 2016 lalu. Kredibilitas Wikileaks ikut menurunkan kepercayaan terhadap media massa yang hanya mengunyah informasi resmi.

Kini perkembangan media sosial baru dengan aplikasi telepon pintar seperti whatsapp (WA), Line, dan Blackberry Messenger  – telah melahirkan realitas hiper dalam komunikasi dan informasi. Informasi yang diterima konsumen media telah mengalami - seperti yang dibayangkan filsuf Perancis Jean Baudrillard : over-produksi, over-komunikasi, dan over-konsumsi (Yasraf Amir Piliang, 1999 : 83).
Informasi diproduksi dan disebar dengan WA, Line,  dan BBM secara terus-menerus, berlebihan, dan tanpa mempertimbangkan konteks waktu telah membangun struktur pengetahuan publik dalam mencerna dan merefleksikan. Di sisi lain informasi yang telah mengalami pemajalan dan “pemalsuan” karena penambahan detil visual dan reduksi teks di sana-sini malah dipercayai validitasnya.
Akhirnya informasi yang diterima tumpah-ruah dan meluber itu memengaruhi kesadaran sang penerima. Info dari telepon pribadi itu menjadi kebenaran aksiomatik dan diterima secara aprioris.

Informasi Palsu

Isu-isu palsu juga bekerja dalam memanipulasi agama. Agama dengan instrumen histeris dan fascinans (memesona) bisa dikerjakan dengan cara yang keliru. Beberapa waktu lalu saya pernah menerima pesan WA tentang pahala berpuasa dan beramal pada 1 Rajab yang dikatakan akan jatuh esok hari. Ternyata 1 Rajab baru akan jatuh 12 hari kemudian. Ketika saya konfirmasi kepada pengirimnya ia sudah memberikan info “sesat”, dengan “lugunya” ia menyatakan saya masih peduli dengan kalender Islam. Tidak ada perasaan bersalah bahwa ia baru menyebar “hoax” yang artinya menipu pembaca. Karena yang disampaikan adalah pesan-pesan religius, dan sekedar menyambung pesan berantai maka itu bukan “dosa”.

Demikian seperti isu penculikan anak yang sempat marak. Setiap hari pengguna telepon pintar disuguhi teks tentang penculikan anak yang telah sampai di kota-kota besar termasuk “kota-kota desa”. Berita-berita itu diselingi dengan cuplikan video WA terkait interogasi dan pemukulan oleh warga terhadap terduga penculik yang dianggap pura-pura gila atau bego. Visual kekerasan itu tanpa toleransi masuk ke telepon cerdas kita.

Situasi semakin mengerikan ketika tersebar video sejumlah mayat yang dipotong-potong dan dibiarkan menjadi santapan burung bangkai. Jelas video itu tidak terjadi di Indonesia tapi di sebuah negara di Asia Tengah. Anehnya kita merasa realitas itu sangat dekat dan intim. Konteks pesan sangat empuk membangun kecemasan dan teror.

Penyebaran informasi-informasi hoax seperti itu telah banyak memakan korban. Midi seorang pemuda di Takengon, Aceh Tengah dirajam dan dirantai di tiang kayu dalam keadaan setengah meninggal; Almiati seorang perempuan paruh baya di lapangan Cibodas, Tangerang dijadikan bulan-bulanan warga; Fauzi di Sampang, Madura dipukul hingga remuk kepalanya karena curiga setelah anak-anak SD takut melihatnya. Ternyata ketiganya sama, mengalami keterbelakangan mental.
Ketika Kapolri Tito Karnavian menyatakan isu-isu penculikan anak yang berkembang di selama ini adalah hoax, keberingasan publik juga tidak berkurang. Aksi massa yang panik menghajar siapa saja yang terlihat mencurigakan seperti didetilkan dalam berita media sosial. Ditengarai isu ini sengaja diembuskan di tengah sengkarut masalah pilkada termasuk warga Jakarta yang akan melakukan putaran kedua.

Umberto Eco, pemikir semiotika visual asal Italia dalam buku Travels in Hiperrality menyebut ini sebagai fenomena teknologi holografi, ketika realitas yang tertangkap di sebuah lensa kamera bisa dipoles dan didistorsi sehingga menjadi lebih meyakinkan dibandingkan realitas asli. Saat ini teknologi komunikasi telah berkembang jauh lebih kompleks dan halusinatif dibandingkan gambaran Eco 30 tahun lalu. Banyak aplikasi yang tersedia di telepon pintar dan bisa diunduh di Play Store.
Di tengah situasi media kompleks seperti saat ini, pengetahuan dan literatur menjadi runtuh. Sastra dan informasi yang bisa menjadi protein psikologi dan nalar yang refleksif akhirnya dikesampingkan karena netizen lebih senang dengan informasi instan-distortif di media sosial. Menurut Eco, masyarakat multi-media sekarang merasa “tersosialisasi” tapi terkurung di dalam “benteng kesendiriannya”. Merasa menjadi publik tapi di tengah kesunyian dan perasaan takut publik.
Masyarakat konsumen media terjebak pada situasi “beriman pada kepalsuan” (faith in fakes). Informasi palsu adalah sampah, tapi dikonsumsi dengan kelapangan hati. Berita WA seperti seruan agama untuk bermusuhan, menyebarkan ceramah tentang China sama dengan komunisme, atau melesatkan diksi kafir kepada siapa pun yang berbeda pandangan adalah upaya membelokkan pengetahuan dengan pandangan palsu. Tanpa merasa berdosa kepalsuan itu diedarkan kepada massa konsumen lain sehingga melahirkan semesta kepalsuan dan tindakan gila kolektif. Padahal tindakan gila telah melecehkan bukan hanya nalar tapi juga menista kemanusiaan!


Teuku Kemal Fasya
 Penulis Ketua Unit Jaminan Mutu Prodi Antropologi Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Dosen di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. (SATUHARAPAN.COM)
Editor : Trisno S Sutanto

Disqus Comments