MANOKWARI - Upaya rakyat Papua Barat (West Papua) yang terdiri dari mayoritas Orang Asli Papua (OAP) sebagai bagian dari Rumpun Ras Melanesia untuk masuk menjadi anggota tetap (full member) dari Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) di Honiara, Kepulauan Solomon adalah sebuah cara yang sangat terhormat, bermartabat dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku universal serta sebagai jalan menuju perbaikan situasi hak asasi manusia di Tanah Papua.
Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari mengatakan, persoalan HAM sudah mengemuka sebagai bentuk paling drastis yang dialami oleh mayoritas rakyat Papua sepanjang kurang lebih 50 tahun menjadi bagian dari Republik Indonesia. Masalah ini, tidak bisa lagi disebut sebagai persoalan internal atau urusan rumah tangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tapi sudah menjadi isu internasional.
‘’Semenjak intergrasi 1 Mei 1963 sudah menjadi masalah krusial dan urgen di tingkat internasional, dan lebih menyedihkan dan sangat memprihatinkan, karena tidak pernah mendapatkan perhatian, apalagi penanganan untuk mencari jalan penyelesaian secara hukum oleh Pemerintah Indonesia dari masa ke masa,”ujarnya.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM penting di antaranya, kasus Biak Berdarah 6 Juni 1998, kasus Wasior 2001, Wamena 2002, Manokwari berdarah Oktober 1998, dan lain-lain.
Dikatakan, sebagian besar kasus tersebut hingga saat ini belum pernah diungkapkan, dan ditempuh langkah-langkah hukum berdasarkan mekanisme sebagaimana diatur di dalam UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. ‘’Hanya kasus Wasior dan Wamena yang sempat dilakukan investigasi awal oleh Komnas HAM dan investigasi pro-justitia (untuk keadilan) oleh Komisi Penyeleidik Pelanggaran (KPP) HAM pada tahun 2003.
Namun sayang sekali karena hingga saat ini berkas penyelidikannya belum pernah ditindak-lanjuti oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia ke tahap penyidikan sesuai amanat aturan perundangan yang berlaku tanpa adanya penjelasan sama sekali. Padahal jelas-jelas di dalam aturan perundangan yang mendasari keberadaan dan tugas KOMNAS HAM sebagai Lembaga Negara dibiayai seluruh kegiatannya oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN),’’ tandas peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 ini.
Memang untuk isu pelanggaran HAM di Tanah Papua sudah menjadi isu internasional dan karena itu, setiap kejadian apapun yang berlangsung di Tanah Papua, pasti akan menjadi alasan berbagai pihak di tingkat internasional bereaksi. Termasuk di dalamnya para aktivis hak asasi manusia maupun warga sipil/masyarakat adat dan pemimpin negara-negara anggota MSG yang sesungguhnya merupakan saudara kandung dari OAP itu sendiri.
Dengan demikian maka usaha rakyat Papua dan OAP sebagai bagian dari Rumpun Ras Melanesia untuk membawa masalah-masalah hak asasi manusia melalui jalur politik ke MSG Summit yang tengah berlangsung di Honiara-Kepulau Solomon saat ini adalah sesuatu langkah politik yang dewasa, cerdas dan bermartabat.(lm)
Sumber : Radar Sorong
Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari mengatakan, persoalan HAM sudah mengemuka sebagai bentuk paling drastis yang dialami oleh mayoritas rakyat Papua sepanjang kurang lebih 50 tahun menjadi bagian dari Republik Indonesia. Masalah ini, tidak bisa lagi disebut sebagai persoalan internal atau urusan rumah tangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tapi sudah menjadi isu internasional.
‘’Semenjak intergrasi 1 Mei 1963 sudah menjadi masalah krusial dan urgen di tingkat internasional, dan lebih menyedihkan dan sangat memprihatinkan, karena tidak pernah mendapatkan perhatian, apalagi penanganan untuk mencari jalan penyelesaian secara hukum oleh Pemerintah Indonesia dari masa ke masa,”ujarnya.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM penting di antaranya, kasus Biak Berdarah 6 Juni 1998, kasus Wasior 2001, Wamena 2002, Manokwari berdarah Oktober 1998, dan lain-lain.
Dikatakan, sebagian besar kasus tersebut hingga saat ini belum pernah diungkapkan, dan ditempuh langkah-langkah hukum berdasarkan mekanisme sebagaimana diatur di dalam UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM maupun UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. ‘’Hanya kasus Wasior dan Wamena yang sempat dilakukan investigasi awal oleh Komnas HAM dan investigasi pro-justitia (untuk keadilan) oleh Komisi Penyeleidik Pelanggaran (KPP) HAM pada tahun 2003.
Namun sayang sekali karena hingga saat ini berkas penyelidikannya belum pernah ditindak-lanjuti oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia ke tahap penyidikan sesuai amanat aturan perundangan yang berlaku tanpa adanya penjelasan sama sekali. Padahal jelas-jelas di dalam aturan perundangan yang mendasari keberadaan dan tugas KOMNAS HAM sebagai Lembaga Negara dibiayai seluruh kegiatannya oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN),’’ tandas peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 ini.
Memang untuk isu pelanggaran HAM di Tanah Papua sudah menjadi isu internasional dan karena itu, setiap kejadian apapun yang berlangsung di Tanah Papua, pasti akan menjadi alasan berbagai pihak di tingkat internasional bereaksi. Termasuk di dalamnya para aktivis hak asasi manusia maupun warga sipil/masyarakat adat dan pemimpin negara-negara anggota MSG yang sesungguhnya merupakan saudara kandung dari OAP itu sendiri.
Dengan demikian maka usaha rakyat Papua dan OAP sebagai bagian dari Rumpun Ras Melanesia untuk membawa masalah-masalah hak asasi manusia melalui jalur politik ke MSG Summit yang tengah berlangsung di Honiara-Kepulau Solomon saat ini adalah sesuatu langkah politik yang dewasa, cerdas dan bermartabat.(lm)
Sumber : Radar Sorong