Fakfak merupakan salah satu wilayah kabupaten di Provinsi Papua Barat, Tanah Papua. Kabupaten ini sejak dulu sangat terkenal dengan julukan Kota Pala karena memang hanya di daerah yang sangat potensial dengan batu gamping inilah, sangat cocok untuk budidaya pala. Selain itu hanya di kota inilah dapat nampak keharmonisan keberagaman segala suku bangsa dimana komunitas orang asli Papua seperti Suku Besar Mbaham dan Suku Besar Matta yang mendiami gunung-gunung terjal hingga pesisir pantai ini sejak lama hidup berdampingan dengan komunitas suku-suku lain dari luar Tanah Papua. Keragaman budaya ternyata bukanlah halangan untuk kebersamaan, dan hal itu terbukti di Fakfak. Bahkan ketika masuknya agama Islam maupun Nasrani (Katolik dan Protestan), justru lebih memperkaya keragaman itu. Tidak pernah terjadi perselisihan oleh karena berbagai perbedaan. Harmonis memang, seindah bunga pala.
Secara Geografis Kabupaten Fakfak terletak diantara 131o 53′ 03″ – 133o 29′ 19″ BT dan 2o 30′ 58″ – 3o 57′ 51″ LS, luas wilayahnya adalah 14.320 Km2. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kaimana, di sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram dan Teluk Berau, di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Bintuni, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura dan Kabupaten Kaimana, wilayah ini terbagi atas 9 distrik (kecamatan) dan 7 kelurahan.
Komoditi unggulan Kabupaten Fakfak yaitu sektor perikanan, Perkebunan dan jasa. Sub sektor peikanan komoditi unggulannya adalah perikanan tangkap, Sub sektor perkebunan komoditi yang diunggulkan berupa kakao, karet, jambu mete, Kelapa dan cengkeh. Pariwisatanya yaitu wisata alam, wisata adat dan budaya. Namun sesungguhnya dalam sejarah keberadaan Fakfak, komoditi unggulan yang terkenal adalah pala sehingga menyandang julukan Kota Pala. Pada tahun 2010 dengan luasan lahan sekitar 4,623 ha kebun rakyat, produksi pala mencapai 1,292 ton. Sayangnya harga pasar belum terlalu menjamin keuntungan bagi masyarakat adat setempat. “Kami orang Mbaham-Matta di Fakfak sejak dari dulu, zaman moyang, sudah mengenal pohon pala dan telah menyatu dengan kehidupan kami, sehingga kami sulit untuk menyesuaikan diri dengan jenis tanaman lain, apalagi sawit”, demikian kata Ema Hegemur aktivis Dewan Adat Mbaham-Matta ini.
Sebagai penunjang kegiatan perekonomian, di kabupaten ini tersedia 1 bandar udara yakni Bandara Torea, Untuk transportasi laut tersedia 1 pelabuhan yakni Pelabuhan Fakfak. Akses transportasi sudah tidak sulit, karena ada hubungan laut dan udara. Pelabuhan laut Fakfak juga merupakan salah satu pelabuhan di Tanah Papua yang selalu disinggahi oleh kapal-kapal PELNI. Sedangkan hubungan udara pun tersedia jasa Lion/Wings Air, Express Air dan Merpati perintis nusantara. Sebelumnya layanan Susi Air juga masuk Fakfak, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Sayangnya, gampang masuknya, susah keluarnya. Sekali kandas di Fakfak, terasa enggan untuk pergi darinya.
Orang Mbaham-Matta di wilayah Fakfak menggunakan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari, namun sesungguhnya mereka pun memiliki bahasa lokal sendiri yakni bahasa baham, iha, arguni dan karas. Namun demikian, bahasa dominannya adalah bahasa baham dan iha, karena kebanyakan orang dapat berkomunikasi dan memahaminya. Sayangnya, bahasa lokal orang Mbaham-Matta sudah hampir terlupakan senasib dengan harumnya bunga pala yang semakin memudar.
Daerah ini pun ternyata sangat potensial untuk pengembangan sektor parawisata. Lautnya yang indah, pantainya yang indah dimana sebaran bebatuan pipih yang dihiasi hamparan pasir putih memantulkan alam hijau yang indah menghiasi pemandangan kota Fakfak dan sekitarnya. Sejuknya udara di kawasan ini sangat menjanjikan bagi siapapun yang datang ke tempat ini. Sekali menginjakkan kaki di Fakfak Kota Pala, anda terasa enggan untuk minggat darinya. Indah nan menawan. Sayangnya potensi alam ini tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah untuk dikembangkan menjadi obyek wisata yang bernilai ekonomis bagi daerah dan juga masyarakat setempat.
Bagi peminat air tawar, tersedia potensi “Kali Besar” di distrik Fakfak Tengah dimana ada jasa kolam renang. Rasakan dan nikmati dingin dan sejuknya air kolam yang langsung turun dari gunung. Hmmmm, jernih dan sejuknya bukan main. Konon, kolam renang ini merupakan aset Pemda Fakfak, tetapi karena pengelolaannya tidak beres, maka sekarang dikelola oleh swasta. Setiap hari banyak pengunjung, apalagi hari-hari libur, banyak kaum muda maupun tua, bahkan keluarga memanfaatkan potensi ini sebagai tempat rekreasi. Sebelum mandi air tawar di kolam ini, jarak dari pantai pun tak jauh. Mandi air laut sambil menikmati pasir putih di tengah hamparan bebatuan pipih yang indah. Menikmati bunyi ombak yang berkali-kali mengamuk di dinding-dinding bebatuan itu. Pokoknya, kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Sayangnya tempat rekreasi ini pun tidak terurus, walaupun ada papan larangan dari Badan Lingkungan Hidup di situ. Pasir putih tetap menjadi obyek dagang bahan tambang galian golongan C – yang masih terus lancar dimanfaatkan tanpa pengaturan dari pemerintah daerah setempat.
Sementara dari bebukitan kota Fakfak, dapat menyaksikan panorama Pulau Panjang yang katanya berstatus Hutan Lindung. Pulau panjang ini mempunyai fungsi secara alamiah untuk melindungi kota Fakfak dari ancaman ombak angin selatan. Sayangnya, kondisi hutan di Pulau Panjang semakin memprihatinkan, tampak kebotakan sana-sini karena pemanfaatan untuk kebun oleh masyarakat yang mendiami pulau itu. Pemukim di pulau ini, sebenarnya berstatus bekas karyawan sebuah perusahan kayu ternama di Fakfak yang sekarang tidak beroperasi lagi. Perusahan sudah pergi meninggalkan Fakfak, tetapi karyawannya masih tertinggal dan menetap di situ. Mereka ingin pergi juga meninggalkan Fakfak menyusuli majikannya, tetapi sejak beroperasinya perusahaan hingga kepergiannya, tidak ada kompensasi bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat. Sehingga, para eks karyawan perusahaan HPH ternama ini hanya bisa bertahan dalam ‘sanderaan’ oleh petuanan hak adat sampai harus kompensasinya terbayar. Tetapi entah kapan? Hanya Tuhan yang tahu.
Sekedar cerita, Masyarakat Adat Mbaham-Matta baru saja melaksanakan sebuah momment penting berupa Musyawarah dan Rapat Kerja kelembagaan sebagai Dewan Adat. Sejak terbentuknya pada tahun 2009, Dewan Adat Mbaham-Matta cukup eksis dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat setempat atas tanah, hutan, laut dan hak-hak lainnya. Dewan Adat Mbaham-Matta Fakfak pun terus berusaha untuk memelihara keharmonisan dan kedamaian di daerah ini. Maka, tanggal 18 – 20 Juni 2012, masyarakat adat Mbaham-Matta menggelar Rapat Kerja dan Evaluasinya sebagai ajang Musyawarah dimana menghasilkan berbagai hal penting berupa rancangan program kelembagaan dan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada pemerintah daerah. Salah satunya adalah betapa pentingnya pelaksanaan prinsip-prinsip FPIC (free, prior, informed, consent) sebagai strategi menghadapi perubahan-perubahan yang nampak dari lancarnya rencana dan implementasi pembangunan sektoral seperti pertambangan dan perkebunan sawit yang telah mengepung wilayah ini. Posisi masyarakat adat pun semakin terjepit, lahan pun semakin sempit, bahkan sumberdaya hutannya pun semakin menipis. Sehingga konkretnya adalah Dewan Adat Mbaham-Matta akan melaksanakan pendokumentasian sejarah silsilah orang Mbaham-Matta baik suku maupun marga serta mendokumentasikan tanah-tanah adat melalui pemetaan partisipatif sebagai sebuah strategi pertahanan dan upaya melindungi hak-hak atas tanah milik komunitas marga maupun suku-suku yang berada di Fakfak sesuai sejarah keberadaannya.
Adapun rekomendasi kepada pemerintah untuk meninjau ulang izin-izin konsesi HPH dan juga menerbitkan peraturan daerah yang mengakui dan melindungi hak-hak adat orang Mbaham-Matta atas tanah, hutan dan laut, bahkan udara. Sayangnya, apakah orang Mbaham-Matta akan mampu bertahan terhadap arus globalisasi yang terus membawa investor ke daerah ini? Terima atau tidak, jelas bahwa sejumlah perusahaan pertambangan migas telah mengantongi izin untuk beroperasi di Fakfak, termasuk perkebunan sawit. Akibatnya aroma Fakfak-Kota Pala pun terancam hilang. Mbaham-Matta pun diharapkan tak akan terpecah hanya karena perubahan-perubahan di zaman ini akan memisahkan orang Fakfak dengan orang Kokas. Sebab, ditengah kesibukan Mbaham-Matta menata kelembagaannya di Hotel Grand Papua pada 18 – 20 Juni 2012, di saat yang sama pula proses politik pemekaran wilayah Kokas untuk menjadi satu kabupaten baru di provinsi Papua Barat pun tengah berjalan, dan berdampak pula pada proses musyawarah hari terakhir dimana keputusan-keputusan penting dan berwibawa demi masa depan orang Mbaham-Matta harus menjadi prioritas perhatian dari sekitar 600 orang peserta yang memadati forum berwibawa ini. Akhirnya, kita hanya bisa berharap semoga Mbaham-Matta tetap bersatu untuk menata masa depan di tengah arus gelombang kepungan investasi di Tanah Papua.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua