Oleh Pietsau Amafnini
Sebuah perjalanan menuju Fakfak yang sejak lama dikenal dengan julukan ‘Kota Pala’ di Tanah Papua. Tanggal 16 Juni 2012, saya berangkat dari Manokwari menggunakan jasa penerbangan pesawat Wings/Lion Air menuju Fakfak melalui Kaimana. Penerbangan Manokwari ke Kaimana memakan waktu 50 menit di udara, transit 1 jam dan melajutkan perjalanan lagi dengan pesawat yang sama menuju Fakfak dengan menempuh waktu 40 menit. Cuaca yang cerah pada perjalanan ini sangat memungkinkan untuk menikmati pemandangan indah Tanah Papua. Hutan, laut dan sungainya yang indah.
Perjalanan ke Fakfak ini dengan tujuan menghadiri kegiatan Dewan Adat Papua wilayah Empat (4), DA-Mbaham Matta yang telah menetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan Rapat Kerja dan Evaluasi keberadaan dan peran kelembagaan berbasis adat ini di Fakfak. Kegiatannya baru akan terlaksana tanggal 18 – 20 Juni 2012 di Hotel Grand Papua (HGP) Fakfak, tetapi karena sulitnya akses transportasi udara, maka panitia pelaksana meminta saya untuk berangkat dari Fakfak sesuai jadwal penerbangan 16 Juni 2012.
Ketika tiba di HGP Fakfak, di sana sudah ada Leo Imbiri (Sekjen Dewan Adat Papua) dan Fadhal Alhamid (Ketua II DAP) yang baru saja tiba juga dari Jayapura dan Macx Binur (Direktur Belantara Papua) dari Sorong. Genaplah sudah karena tambah saya, Pietsau Amafnini (Koordinator JASOIL Tanah Papua) dari Manokwari. Anehnya, mengapa saya bersama Macx dihadirkan? Panitia menghubungi kami untuk mengambil peran dalam proses Musyawarah Adat ini karena mereka tidak dapat memastikan kehadiran Abdon Nababan (Sekjen AMAN) di Jakarta dan Decky Rumaropen (Direktur YPMD) di Jayapura. Akhirnya, atas pertimbangan panitia, Abdon Nababan bisa digantikan dengan saya, Pietsau Amafnini dan Decky Rumaropen digantikan oleh Macx Binur. Semuanya tentu mempunyai peran dan fungsi masing-masing dalam pertemuan berwibawa ini. Namun, sebenarnya kehadiran kami berempat dari luar Fakfak, tidak terlalu penting, karena orang Fakfak sendirilah yang seharusnya memahami apa yang disebut dengan ‘Kebangkitan Adat’ untuk menghadapi ‘Globalisasi’ yang datang sebagai ‘berkat peradaban’ dan sekaligus ‘bencana pembangunan’.
Tanggal 17 Juni 2012, hari minggu, kami mencoba untuk mengenal kehidupan sosial, ekonomi dan budaya Fakfak. Esau Rumere yang mempunyai peran di FOKER-LSM sebagai ‘SC’ dan juga mempunyai peran penting dalam musyawarah adat masyarakat Mbaham-Matta ini sebagai anggota panitia membawa kami untuk berkeliling di Kota Pala ini. Cuaca tak begitu bagus, tapi lumayan untuk mengenal sejumlah kampung yang terletak di daerah pantai dari distrik Fakfak Tengah hingga Fakfak Timur. Kondisi geografis Fakfak dimana jalan berlekuk, sempit dan diwarnai jurang kemiringan yang terjal serta tanjakan curam menjadi pengalaman tersendiri. Belum lagi hilir-mudiknya para pengendara kendaraan bermotor baik roda 2 maupun roda 4 yang berlomba-lomba untuk saling mendahului satu sama lain. Astaganaga!!! Sebuah kendaraan roda 4 hampir saja duduk manis diatas atap rumah penduduk.
Kami menelusuri kampung demi kampung, diantaranya Danaria, Kayu Merah, Katemba, Nemewikarya, Raduna, Brongkendik, Air Besar, Kanantare, Mendogma, Sakartemen, Pasir Putih, Pirma dan Wayati. Sebuah perjalanan observatif yang luar biasa. Lebih dahulu menikmati alam di Pasir Putih, melepaskan lelah dengan menikmati kesejukan alam di sekitarnya. Air laut yang tentu asin rasanya dan air tawar yang tentu jernih dan sejuknya bukan main. Hanya di sinilah sedikit ‘kolam’ pasir putih berada di antara hamparan bebatuan pipih (batu gamping) yang patah dan terjatuh dari tebing-tebing di sepanjang pantai oleh karena hantaman ombak angin selatan. Sekalipun ada papan bertuliskan, “Dilarang Mengambil Pasir Di Areal Pantai dan Sekitarnya” sebagai perhatian Kantor Badan Lingkungan Hidup terhadap potensi alam ini, namun tetap saja karung-karung berisi pasir putih bertumpuk di sepanjang jalan. Ternyata bagi masyarakat pemilik hak ulayat setempat, pasir putih sebagai tambang galian golongan ‘C’ ini cukup menjanjikan untuk pendapatan rumah tangga. Sayangnya tidak ada peraturan daerah yang mengatur tentang penambangan galian golongan ‘C’ ini.
Dari pantai Pasir Putih, kami ke kali (sungai) yang juga nama kampung Air Besar. Di sana ada kolam renang, berada di kaki gunung, memanfaatkan air alami dari gunung yang mengalir melalui Kali Air Besar ini. “Ini merupakan tempat rekreasi yang cocok bagi kelurga, bujangan, remaja dan anak-anak, nyaman dan sejuk”, kata pengelola aset wisata ini. Konon, menurut cerita, sebenarnya kolam renang ini merupakan aset pemerintah daerah Fakfak, tetapi karena tidak dikelola baik, maka kini dikelola oleh swasta. Masalahnya, di mana-mana yang namanya aset BUMD selalu saja terlantarkan, tidak terurus dan tidak menghasilkan “income” buat kas daerah. Padahal, dalam perencanaannya tentu selalu bertujuan untuk ‘income’ dan juga kesejahteraan masyarakat. Sialnya, tidak terurus.
Tidak hanya itu, masih ada Taman Anggrek di atas gunung. Nasibnya juga sama, tidak terurus. Padahal sudah berapa banyak kerugian pemerintah daerah dalam proses membangun kebun anggrek ini? Seorang tokoh adat, Simon Bruno Hindom menyatakan bahwa pemerintah hanya tahu membuat rencana dan membangun sesuai pikirannya, tetapi sesungguhnya tidak pernah sesuai dan menjawab kebutuhan rakyat. Mengapa Anggrek dan bukan Pala? Padahal orang Fakfak sudah sejak dahulu kala mengenal pohon pala dan menjadikannya sebagai sumber pendapatan keluarga. Bahkan Fakfak dikenal dengan sebutan Kota Pala di Tanah Papua, tetapi justru tanaman pala tidak mendapat kesempatan baik untuk dimanfaatkan sebagai tanaman identitas kabupaten Fakfak dan untuk meningkatkan ‘income’ daerah.
Sementara investasi skala besar di sektor perkebunan sawit dan juga pertambangan minyak dan gas bumi pun sudah semakin gencar melirik dan beraktivitas di bumi Kota Pala ini. Esau Rumere (SC-Foker LSM Papua) menegaskan bahwa “suatu saat Kota Pala ini akan lebih dikenal dengan Kota Migas. Sebab sudah ada sekitar 7 investor migas yang sedang dan akan melakukan kegiatannya di kabupaten Fakfak, diantaranya BP-Berau,ltd; Genting Oil,ltd; Murphy Semai Oil; HESS (Semai,ltd); PT. Suma Sarana; Chevron West Papua dan Eni Arguni,ltd. Persoalannya adalah bagaimana dengan nasib masyarakat adat ke depan? Apakah mereka sudah siap untuk menerima perubahan-perubahan ke depan?”.
Ketua I Dewan Adat Mbaham-Matta, Simon Bruno Hindom menyatakan bahwa ‘tanah adalah mama’ bagi kami, tetapi pemerintah telah mengizinkan berbagai macam investor untuk mengambil hasil bumi di Fakfak tanpa memintai persetujuan kami sebagai masyarakat adat pemilik hak atas tanah dan hutan tersebut. Hak-hak kami sudah dipindah-tangankan kepada pihak investor oleh pemerintah daerah tanpa melalui persetujuan dan sepengatahuan kami. Untuk itulah Kegiatan Rapat Kerja Tahunan dan Evaluasi Dewan Adat Mbaham-Matta Kabupaten Fakfak, Papua Barat Tahun 2012 ini sangat penting sebagai ajang musyawarah adat. Semoga mata hati kami sebagai masyarakat adat pun melalui musyawarah ini, dapat melihat, mendengar dan mengetahui berbagai macam informasi tentang perubahan-perubahan dan kecenderungan-kecenderungan yang sudah, sedang dan akan terjadi di Fakfak ke depan, sehingga kami mampu menghadapinya.
Pada akhirnya, semangat Dewan Adat Mbaham-Matta untuk terus mengabdi bagi negeri Tanah Papua terus berapi-api dalam semboyan bersama “Mbima Ponggodpigad Tondige Mbigyedke Syektangge’, (bhs.iha: “Kita adalah manusia pelaku maka kita sendirilah yang harus melakukan sesuatu sendiri”). Simon Bruno Hindom menegaskan terkait filosofi ini bahwa sebagai orang Mbaham-Matta janganlah kita menunggu dan terus menunggu datangnya perubahan itu dari luar untuk kesejahteraan hidup kita sendiri atau kita tidak boleh menunggu komando dari orang lain, melainkan seharusnya kita terus mencoba untuk berbuat sesuatu untuk membangun dan menata diri orang Mbaham-Matta di bumi Fakfak, Tanah Papua agar semakin hari terus berkembang menjadi baik adanya. Lebih dari itu, setelah mendengar, melihat dan merasakan berbagai persoalan terkait investasi yang semakin gencar menggepur dan mengepung hak-hak dasar orang Mbaham-Matta, maka kiranya melalui musyawarah adat yang dilakukan tahun 2012 ini, orang Mbaham-Matta dapat merancang dan melakukan sesuatu yang berharga untuk membangun masa depannya lebih baik, mempertahankan hak-hak dasarnya atas tanah, hutan, laut dan bahkan udara di bumi Fakfak, serta mampu memelihara keharmonisan hidup bersama di Kota Pala ini. “Kota Pala harus tetap dipertahankan sebagai identitas diri orang Mbaham-Matta, karena tanaman pala sudah sejak lama menyatu dengan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya orang Fakfak”, tegas Simon.
Pada tanggal 18 Juni 2012, merupakan hari pertama pelaksanaan musyawarah adat Mbaham-Matta di Hotel Grand Papua (HGP) Fakfak. Pada kesempatan ini, Bupati Fakfak, M. Uswanas dalam sambutannya menegaskan bahwa musyawarah adat Mbaham-Matta ini menunjukkan peran dan fungsi Dewan Adat dalam proses pembangunan kabupaten Fakfak. Sebab, suka atau tidak, kabupaten Fakfak sedang berada dalam proses pembangunan yang tentu sangat dipengaruhi pula oleh kuatnya arus globalisasi. Karena itu, globalisasi tersebut juga sangat menuntut peran semua pihak terkait, baik pemerintah dan masyarakat adat, maupun pihak pelaku usaha di semua sektor pembangunan. Bupati Fakfak meminta supaya masyarakat adat Mbaham-Matta melalui musyawarah ini, dapat merumuskan masalah-masalah dan menyusun program kerjanya yang kemudian dapat disinergiskan dengan kebijakan dan program pemerintah. Leo Imbiri, Sekjen DAP juga dalam sambutannya terus menegaskan pentingnya peran masyarakat adat di seluruh Tanah Papua, termasuk Mbaham-Matta di Fakfak supaya berperan aktif dalam proses pembangunan. Leo Imbiri menjelaskan bahwa Orang Asli Papua selama ini terus berbangga bahwa memiliki status Otonomi Khsusu (OTSUS) sesuai UU No.21 Tahun 2001, tetapi perjuangan belumlah selesai, OTSUS sudah didapatkan, dimana pemerintah Indonesia setuju atas keberadaan masyarakat adat Papua di Tanah Papua. Namun, sebagai orang asli Papua, kita harus terus bekerja dan berusaha untuk membangun Tanah Papua.
Leo Imbiri menerangkan bahwa ada banyak contoh terkait kebijakan dan pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua yang masih terus menempatkan posisi orang asli Papua sebagai penonton. Benar bahwa dalam tujuan pembangunan nasional maupun daerah, masyarakat adatlah yang menerima manfaatnya, namun yang terjadi adalah sekaligus menjadi korban dalam proses pembangunan itu. Hal ini juga sangat dimungkinkan oleh tidak atau belum adanya kebijakan yang secara jelas dan tegas memihak pada hak-hak masyarakat adat dan juga mengakui keberadaan masyarakat adat itu sendiri. Hal ini merupakan dilema seluruh masyarakat adat di Indonesia, termasuk di Tanah Papua pada umumnya dan juga di Fakfak pada khususnya.
Dalam upaya memahami kondisi masyarakat adat di seluruh Tanah Papua yang justru berkembang semakin buruk, maka atas dasar pemikirannya tentang status OTSUS bagi Papua, pihaknya juga terus bertanya, “adakah pejabat seperti bupati dan gubernur yang nota bene adalah orang asli papua yang peduli dan berpihak pada hak-hak masyarakat adat di Tanah Papua? Sebab, kalau dalam kebijakan pembangunan, pemerintah daerah terus menunggu dan bekerja berdasarkan perintah kebijakan dari Jakarta, maka sesungguhnya yang akan terus terjadi adalah kekacauan dan kemiskinan.” Selanjutnya Leo juga menegaskan kepada pemerintah bahwa “membantu masyarakat adat, tidak berarti hanya melihat berdasarkan bidang-bidang program pembangunan, tetapi mengakui keberadaannya dari hati dan itu harus dinyatakan dalam kebijakan atau aturan juga; bukannya memberikan sesuap nasi, terus bilang itu sudah cukup”.
Harapan dari Leo selaku Sekjen Dewan Adat Papua untuk seluruh Tanah Papua, yang berpusat di Jayapura adalah dengan adanya musyawarah ini, masyarakat adat Mbaham-Matta dapat merumuskan keputusan-keputusan penting entah berupa program maupun rekomendasi supaya memulai membangun dirinya sendiri, agar mencapai tujuan kebersamaan dengan berjuang untuk menjadi tuan di negeri sendiri, Kota Pala, Tanah Papua.*** Koordinator JASOIL Tanah Papua
Sumber : Pusaka