map-bird-impression papua |
Zending atau misi kristen protestan dari Jerman (Ottow & Geissler) tiba di pulau Mansinam Manokwari 5 Februari 1855 untuk selanjutnya menyebarkan ajaran agama disepanjang pesisir pantai utara Irian. Pada tanggal 5 Februari 1935, tercatat lebih dari 50.000 orang menganut agama kristen protestan. Kemudian pada tahun 1898 pemerintah Hindia Belanda membuka Pos Pemerintahan pertama di Fak-Fak dan Manokwari dan dilanjutkan dengan membuka pos pemerintah di Merauke pada tahun 1902. Dari Merauke aktivitas keagamaan misi katholik dimulai dan pada umumnya disepanjang pantai selatan Irian. Pada tahun 1933 tercatat sebanyak 7.100 orang pemeluk agama katholik. Pendidikan dasar sebagian besar diselenggarakan oleh kedua misi keagamaan tersebut, dimana guru sekolah dan guru agama umumnya berasal dari Indonesia Timur (Ambon, Ternate, Tidore, Seram, Key, Manado, Sanger-Talaud, dan Timor), dimana pelajaran diberikan dalam bahasa Melayu. Pembagian kedua kelompok agama tersebut kelihatannya identik dengan keadaan di Negeri Belanda dimana Kristen Protestan di Utara dan Kristen Katholik di Selatan.
Pendidikan mendapat jatah yang cukup besar dalam anggaran pemerintah Belanda, pada tahun-tahun terakhir masa penjajahan, anggaran pendidikan ini mencapai 11% dari seluruh pengeluaran tahun 1961. Akan tetapi pendidikan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja disektor perekonomian modern, dan yang lebih diutamakan adalah nilai-nilai Belanda dan agama Kristen. Pada akhir tahun 1961 rencana pendidikan diarahkan kepada usaha peningkatan keterampilan, tetapi lebih diutamakan pendidikan untuk kemajuan rohani dan kemasyarakatan. Walaupun bahasa "Melayu" dijadikan sebagai bahasa "Franca" (Lingua Franca), bahasa Belanda tetap diajarkan sebagai bahasa wajib mulai dari sekolah dasar, bahasa-bahasa Inggris, Jerman dan Perancis merupakan bahasa kedua yang mulai diajarkan di sekolah lanjutan.
Pada tahun 1950-an pendidikan dasar terus dilakukan oleh kedua misi keagamaan tersebut. Tercatat bahwa pada tahun 1961 terdapat 496 sekolah misi tanpa subsidi dengan kurang lebih 20.000 murid. Sekolah Dasar yang bersubsidi sebanyak 776 dengan jumlah murid pada tahun 1961 sebanyak kurang lebih 45.000 murid, dan seluruhnya ditangani oleh misi, dan pelajaran agama merupakan mata pelajaran wajib dalam hal ini. Pada tahun 1961 tercatat 1.000 murid belajar di sekolah menengah pertama, 95 orang Irian Belajar diluar negeri yaitu Belanda, Port Moresby, dan Australia dimana ada yang masuk Perguruan Tinggi serta ada yang masuk Sekolah Pertanian maupun Sekolah Perawat Kesehatan (misalnya pada Nederland Nasional Institut for Tropica Agriculture dan Papua Medical College di Port Moresby).
Walaupun Belanda harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk menbangun Irian Barat, namun hubungan antara kota dan desa atau kampung tetap terbatas. Hubungan laut dan luar negeri dilakukan oleh perusahaan Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yang menghubungkan kota-kota Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Fak-Fak, dan Merauke, Singapura, Negeri Belanda. Selain itu ada kapal-kapal kecil milik pemerintah untuk keperluan tugas pemerintahan. Belanda juga membuka 17 kantor POS dan telekomunikasi yang melayani antar kota. Terdapat sebuah telepon radio yang dapat menghubungi Hollandia-Amsterdam melalui Biak, juga ditiap kota terdapat telepon. Terdapat perusahaan penerbangan Nederland Nieuw Guinea Luchvaart Maatschappij (NNGLM) yang menyelenggarakan penerbangan-penerbangan secara teratur antara Hollandia, Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan Jayawijaya dengan pesawat DC-3, kemudian disusul oleh perusahaan penerbangan Kroonduif dan Koniklijk Luchvaart Maatschappij (KLM) untuk penerbangan luar negeri dari Biak. Sudah sejak tahun 1950 lapangan terbang Biak menjadi lapangan Internasional. Selain penerbangan tersebut, masih terdapat juga penerbangan yang diselenggarakan oleh misi protestan yang bernama Mission Aviation Fellowship (MAF) dan penerbangan yang diselenggarakan oleh misi Katholik yang bernama Associated Mission Aviation (AMA) yang melayani penerbangan ke pos-pos penginjilan di daerah pedalaman. Jalan-jalan terdapat disekitar kota besar yaitu di Hollandia 140 Km, Biak 135 Km, Manokwari 105 Km, Sorong 120 Km, Fak-Fak 5 Km, dan Merauke 70 Km.
Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu:
Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.
Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.
- Penduduk pesisir pantai;
Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka. - Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah;
Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru. - Penduduk pegunungan yang mendiami lembah;
Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua). - Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung;
Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.
Pada waktu Belanda meniggalkan Irian Barat, posisi-posisi baik dibidang pemerintahan, pembangunan (dinas-jawatan) baik sebagai pimpinan maupun pimpinan menengah diserahterimakan kepada putra daerah (orang Papua/Irian Barat) sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Juga seluruh rumah dan harta termasuk gedung dan tanah milik orang Belanda itu diserahkan kepada kenalan mereka orang Papua (pembantu dan teman sekerja) untuk dimiliki, karena mereka tidak bisa menjualnya dan juga tidak ada pembeli pada masa itu.
Belanda juga meninggalkan ekses konflik antara suku-suku besar sebagai akibat dari aktivitas politik yaitu pertentangan antara "Elite Pro-Papua" dan "Elite Pro-Indonesia" yang ditandai dengan pertentangan antara "Suku Biak lawan Suku Serui, Suku tanah Merah-Jayapura lawan Suku Serui", sekalipun dalam hal ini tidak semua orang Biak itu pro-Papua, tidak semua orang Serui itu pro-Indonesia dan tidak semua orang Tanah Merah-Jayapura itu pro-Papua dan pro-Indonesia.
Berdasarkan pengalaman Belanda di Indonesia atau Hindia-Belanda dalam kemerdekaan tahun 1945, maka Belanda didalam menjajah Irian Barat sangat hati-hati sekali dalam meningkatkan kehidupan Masyarakat di berbagai bidang, dan Belanda sengaja memperlambat perkembangan di Irian Barat/Nieuw Guinea sesuai dengan permintahaan dan kebutuhan orang-orang Irian Barat. Katakanlah bahwa ini suatu bentuk "Etis-Politik Gaya Baru". Termasuk didalamnya usaha untuk membentuk "Nasionalisme Papua". Cara Belanda yang demikian itu menyebabkan orang-orang Irian Jaya tidak merasa bahwa mereka sedang dijajah sebab mereka hidup dalam suatu keadaan perekonomian yang baik dan tidak merasakan adanya penderitaan dan tekanan dari Belanda.
Sumber : Indonesia. Web