Tentang Filep Karma, seorang tahanan politik yang enggan mengajukan grasi karena menginginkan amnesti.
Pada 9 Mei 2015, Presiden Joko Widodo mengunjungi penjara Abepura guna memberikan grasi kepada lima narapidana Papua. Jokowi sebenarnya juga hendak membebaskan seorang tahanan politik namun terganjal persoalan hukum. Jokowi bersedia memberikan grasi kepada Filep Karma namun Karma tak bersedia mengajukan grasi.
Jokowi mengatakan, “Benar bahwa saya mengusahakan pembebasan Filep Karma. Namun saya maunya proses grasi. Sedangkan dia ingin amnesti. Ini rumit karena harus bicara dengan DPR. Saya tidak tahu apakah DPR akan setuju.”
Di penjara Abepura, Karma mengikuti kedatangan Jokowi lewat berbagai narapidana, termasuk seorang remaja, yang melaporkan bagaimana Jokowi beserta istrinya (Iriana) salat di sebuah ruangan kecil dekat ruang tamu penjara.
Kelima orang tersebut juga bercerita tentang pertemuan mereka dengan Jokowi kepada Karma.
Siapakah Filep Karma?
Filep “Jopie” Karma lahir di Hollandia Binnen, sekarang Abepura, pada 14 Agustus 1959. Jopie adalah anak pertama dari tujuh bersaudara, dua lelaki dan lima perempuan. Pada 1959, Nieuw Guinea atau Papua masih berada dalam kekuasaan Belanda. Andreas Karma adalah seorang birokrat zaman Hindia Belanda dengan pendidikan administrasi negara.
Keadaan berubah ketika pasukan Indonesia menyerbu Nieuw Guinea pada 1962. Mulanya dari Merauke dengan Operasi Naga pimpinan Kapten Benny Moerdani. Amerika Serikat menekan Belanda agar menyerahkan Nieuw Guinea ke Indonesia. Belanda menawar dengan minta diadakan “referendum” oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Indonesia dan Amerika Serikat setuju. PBB mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat pada Juli-Agustus 1969 tapi “keamanan” dilakukan oleh pihak Indonesia. Hanya 1250 orang dipilih untuk memberikan suara. Seratus persen voting setuju Papua bersatu dengan Indonesia. Hasil ini dibawa ke Sidang Umum PBB. Ketika voting diambil, 82 negara menerima resolusi dan 30 abstain. Tak ada satu pun negara menolak resolusi PBB agar Nieuw Guinea dimasukkan ke Indonesia.
Namun invasi dan intimidasi di lapangan menciptakan ketakutan. Ada pengungsian puluhan ribu orang ke Papua New Guinea. Pengungsian ini tak begitu diperhatikan PBB. Andreas Karma termasuk birokrat yang dipercaya oleh pemerintah Indonesia untuk memperbaiki keadaan di Irian Jaya, nama baru New Guinea. Dia diangkat jadi camat di Bokondini, sebuah daerah dekat Wamena. Pada 1971, dia diangkat jadi bupati di Wamena.
Ini jabatan dengan tanggung jawab berat. Dia menjadi Bupati Wamena selama 10 tahun lalu diangkat jadi Bupati Serui pada 1980-an, juga selama 10 tahun. Dua puluh tahun menjadi bupati. Saya sering bertanya secara acak kepada orang Papua. Siapa pejabat Papua yang mereka anggap melayani warganya dengan baik? Nama Andreas Karma dan Gubernur Izaac Hindom termasuk paling sering disebut.
Pada Oktober 1977, militer Indonesia menjalankan operasi militer dan mengebom kampung-kampung sekitar Wamena. Tujuannya adalah mengalahkan gerilyawan Papua Merdeka. Namun serangan tersebut dilakukan dengan gegabah. Banyak korban sipil mati. Menurut laporan Asia Human Rights Commission, The Neglected Genocide, setidaknya 4000 orang Papua mati dalam operasi tersebut. Saya duga Andreas Karma tahu pembantaian yang terjadi di wilayah Wamena.
Namun dia tak diketahui bersuara. Mungkin dia memilih diam.
Saat itu Filep Karma baru berusia 18 tahun. Dia sekolah di SMA Gabungan, sebuah kerja sama antara gereja Katolik dan Protestan, di Jayapura. “Jopie sudah naik Jeep,” kata Luna Vidya. Kekerasan demi kekerasan militer Indonesia tak lepas dari pengamatannya.
Pada 1979, lulus dari SMA Gabungan Karma kuliah ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa. Ini adalah masa ketika pemerintahan Presiden Soeharto sedang kuat-kuatnya. Soeharto baru saja mendapat mandat ketiga kali sebagai Presiden Indonesia. Gerakan mahasiswa pada 1978 diberangus dengan hebat.
Di Solo, pemuda Karma berhadapan dengan rasialisme anti-Papua, anti-kulit hitam, anti-rambut keriting. Dia mengatakan, “Itu saya rasakan dari teman-teman yang kuliah. Jadi bukan dari masyarakat yang tidak berpendidikan saja, tapi juga dari kalangan berpendidikan. Mereka memperlakukan kami begitu. Sering kami dikata-katai, ‘Monyet! Ketek!’”
Rasialisme tersebut diterangkan Dr. George Junus Aditjondro dalam sebuah esai pada 1994 berjudul Menerapkan Kerangka Analisis Frantz Fanon terhadap Pemikiran tentang Pembangunan Irian Jaya. Aditjondro menerangkan bahwa rasialisme anti-Papua menganggap kebudayaan si pelaku lebih tinggi dari kebudayaan si kulit hitam. Ia terjadi bukan saja dalam pergaulan sehari-hari–seperti dialami Karma di Solo—namun namun juga lewat media massa termasuk surat kabar, kartu pos, radio, dan televisi. Orang Papua digambarkan sebagai suku terbelakang, badannya bau busuk, suka mabuk, berkelakuan kasar, melakukan korupsi, dan seterusnya. Sekarang pun penjelasan ini relevan untuk menerangkan bagaimana mayoritas orang Indonesia melihat Papua, entah lewat status Facebook, Twitter, atau blog.
Di Solo, Filep Karma merasakan langsung rasialisme tersebut. “Kami yang dari Papua selalu dianggap setengah binatang. Kami dianggap seakan-akan kami ini evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia. Namun kami dianggap sebagai proses teori Darwin yang belum selesai. Seakan-akan kami ini setengah manusia, setengah hewan.”
Rasialisme melukai hati Filep Karma.
Dia jatuh cinta dengan seorang perempuan Melayu-Jawa. Namanya Ratu Karel Lina, seorang fisioterapis kelahiran 1960 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka kenal di kampus, pacaran, dan memutuskan menikah. Pada 1986, ketika Karma berusia 27 tahun dan Lina 26 tahun, mereka menikah. Mereka dikarunia seorang putri, Audryne, kelahiran Solo pada Agustus 1987. Kelahiran Audryne disusul dengan selesainya studi Karma dari Universitas Sebelas Maret. Ia mengajak istri dan anaknya ke Jayapura. Ia mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri. Putri kedua mereka, Andrefina Karma, lahir di Serui pada November 1988.
Secara politik, pelanggaran terhadap hak orang Papua tak berhenti pada 1977-1978. Pada awal 1980-an ada gerakan memasukkan bahasa-bahasa daerah Papua ke dalam musik gereja. Sebuah kelompok musik bernama Mambesak mengumpulkan berbagai lagu etnik dari Sorong sampai Samarai. Mereka merekam lagu-lagu tersebut. Mambesak memproduksi lewat kaset serta mengadakan siaran lewat RRI Jayapura.
Tokoh Mambesak adalah seorang musikus-cum-antropolog Arnold Ap dari Universitas Cenderawasih di Jayapura. Menurut Arnold Ap, Mambesak adalah usaha mempertahankan budaya asli Papua dari cara kerja pemerintah Indonesia di Papua yang lebih mempromosikan seni dari luar Papua.
Namun nasib Mambesak berakhir tragis dengan tuduhan militer Indonesia bahwa Arnod Ap ikut dalam Organisasi Papua Merdeka. Pada November 1983 militer Indonesia menangkap Arnold Ap. Dia disekap dan dianiaya dalam sebuah bekas toko yang dijadikan markas suanggi–istilah orang Papua untuk intel—dan belakangan kasus Arnold Ap diserahkan pada polisi.
Menurut dokumen pengadilan dan kesaksian seorang polisi Papua, pada malam 21 April 1984 seorang penjaga, Pius Wanem, membius dua polisi dan membuka kunci sel. Wanem, Arnold Ap, dan empat tahanan lain naik taksi pergi ke pantai Base-G di Jayapura, menunggu kapal yang akan membawa mereka lari ke Papua New Guinea. Mereka menunggu di sebuah gua. Ternyata itu sebuah jebakan. Arnold Ap mati ditembak tentara di Base-G.
Sumber : http://rollingstone.co.id