"Abadnya abad besar yang melahirkan zaman besar, tetapi momen besar itu hanya menemukan manusia kerdil".
Bapak bangsa ini hendak mengingatkan, tantangan besar dan berat mensyaratkan pemimpin dengan karakteristik: teguh dalam keyakinan, kecakapan paripurna, horizon luas, dan paham tantangan zaman. Lewat pemahaman sejarah mendalam hegemoni merkantilisme-kolonialisme-kapitalisme, Bung Karno, Bung Hatta, Tan Malaka, dan Sam Ratulangi menuliskan keyakinannya bakal pecah Perang Dunia II belasan tahun sebelumnya. Kemampuan membaca tanda-tanda zaman itu menuntun pendiri Republik merancang siasat menjemput momentum besar, melepaskan bangsa dari belenggu penjajah.
Tahun 1820, Taiwan dan Korea jauh lebih miskin daripada kita. Pada akhir abad ke-20, mereka meninggalkan kita lebih dari 40 tahun. Dari data Indeks Pembangunan Manusia dua dekade terakhir, kita juga jauh tertinggal dari negara tetangga: Singapura, Malaysia, Thailand. Bukan hanya mengidap kutukan sumber daya alam, kita juga mendapat stigma bangsa berkarakter lembek (Arnold J Toynbee, 1961; Gunnar Myrdal, 1968; Koentjaraningrat, 1974; Mochtar Lubis 1977). Herman Kahn (World Economic Development 1979 and Beyond) menerangkan, bangsa yang tinggal di sebelah barat garis batas imajiner peradaban Asia, termasuk Indonesia, cenderung berkebudayaan kurang dinamis.
Aksesori belaka
Pasca 1998, kita sibuk membuat regulasi dan suprastruktur untuk memastikan demokrasi bekerja dan mengontrol wewenang eksekutif-legislatif-yudikatif. Bermacam-macam komisi nasional didirikan, tetapi kinerja dan peran substansialnya masih jauh dari tujuan pembentukannya.
Setelah 17 tahun, kita menuai aneka penyimpangan menggelisahkan. Alih-alih menegakkan koeksistensi antarlembaga, yang mengemuka malah entropi wawasan kebangsaan dan oligarki elite. Anomali demokrasi terus terjadi dengan menumpuk residu persoalan besar, meminggirkan kepentingan rakyat. Kita berharap amanat reformasi dijalankan, tetapi realitas dan praktik bernegara justru mengingkarinya.
Apa indikatornya? Pemberantasan korupsi kini di simpang jalan ketidakpastian. Gerakan perlawanan balik (corruption fight back) dan pelemahan KPK tampak nyata menyusul konflik KPK-Polri. Keputusan DPR menempatkan revisi UU KPK dalam prioritas program legislasi nasional menyisakan keganjilan dan asimetri nalar karena sama sekali tidak menyentuh dan menyempurnakan payung hukumnya lebih dahulu, yakni UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001. Padahal, kejahatan korupsi sejak lama bermetamorfosis, melibatkan banyak pihak dan inheren dengan kejahatan transnasional.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut, transaksi tunai di atas Rp 500 juta sepanjang 2004-2015 mencapai Rp 99.000 triliun atau setara 50 kali APBN 2015 dan transaksi valuta asing per bulan mencapai Rp 500 triliun. Data ini jelas mengindikasikan maraknya praktik bisnis ilegal dan upaya sistematis penghindaran pajak. Mustahil ekonomi tumbuh berkelanjutan, negara maju, dan rakyat sejahtera manakala korupsi dan praktik bisnis ilegal mewabah.
Adab bernegara rusak ketika legalitas formal mengalahkan daulat rakyat. Prinsip keterwakilan diambil oper sebagai hak mutlak, memunggungi asas pertanggungjawaban dan kemaslahatan bagi rakyat. Elan vital parpol sebagai penguat demokrasi makin menjauh, berganti nafsu mendesakkan agenda kelompok lewat kolaborasi dengan kartel bisnis dan institusi kekuasaan. Diabaikannya proses deliberasi dan scrutiny publik menyuburkan aneka kebusukan dan paradoks demokrasi. Komisi Pemilihan Umum menyelenggarakan pilkada dan pemilu raya berbiaya triliunan rupiah hanya untuk menyaksikan pemimpin daerah dan wakil rakyat antre masuk penjara. Sampai akhir 2014, Kementerian Dalam Negeri mencatat 343 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.
Banyak undang-undang dibuat tidak untuk memastikan haluan negara dan menjamin kemakmuran rakyat, tetapi justru membuka celah bagi korupsi struktural. Agaknya kita bukan sedang menyemai harapan besar, melainkan mendapati ketidakpastian dan ketidakadilan. Kita tidak sedang membangun sistem demokrasi beradab, kecuali hanya aksesori belaka.
Kegentingan yang memaksa
Jika perang terhadap aneka kejahatan kemanusiaan ini tak didorong semakin kuat dan berkelanjutan, kita kelak mewarisi tragedi "sinetron pedih berkepanjangan" selain sinisme meluas bahwa negara cenderung dalam posisi state of denial, membiarkan atau berpura-pura tak ada masalah. Pemerintah memang belum kehilangan kepercayaan (public distrust) yang dapat memantik apatisme dan pembangkangan sosial (civil disobedience). Namun, akumulasi bobot persoalan bangsa dan sentakan kedaruratan cukup mengisyaratkan proses ke arah itu berpeluang terjadi sangat cepat. Presiden Jokowi pada pembukaan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Kompas, 15/6) mengatakan, saat ini Indonesia harus berhadapan dengan mafia narkoba, mafia pencurian ikan, mafia pangan, hingga mafia minyak dan gas bumi. Penyebutan persoalan itu berkali-kali menunjukkan ia menyadari tugas beratnya. Sayangnya, sinyal dan erudisi ke arah itu masih samar-samar.
Pada hulu dan entitas sumber daya manusia kita mewarisi beban mengkhawatirkan. Unicef melaporkan fakta satu dekade terakhir, Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi di dunia (36 persen) untuk anak balita yang mengalami prevalensi gizi buruk dan pendek usia. Satu dari lima pengidap HIV berusia di bawah usia 25 tahun, 2,5 juta anak usia 7-15 tahun putus sekolah, 44,3 juta anak terdampak kemiskinan, serta tingkat kematian anak balita dan ibu dalam masa kehamilan dan persalinan tidak menunjukkan penurunan signifikan, yakni lebih dari 200 per 100.000 kelahiran. Dikaitkan dengan bonus demografi 2020-2030, representasi data tersebut jelas menuntut respons dan tindakan luar biasa.
Bangun dan praktik ekonomi kita, selain masih kental diwarnai perburuan rente, menjurus liberal tak terkontrol, juga melanggengkan struktur piramida terbalik di mana hanya bagian kecil populasi diuntungkan. Dalam pembangunan infrastruktur, misalnya, gugatan kritis yang sering diremehkan adalah alokasi distribusi manfaat. Jika akses dan manfaatnya hanya menguntungkan sebagian pihak, dapat dipastikan pertumbuhan tidak berkualitas, gagal membuahkan pemerataan.
Neraka paling gelap
Para pendiri Republik mewariskan Pancasila, membuang mentalitas inlander, menumbuhsuburkan kenegarawanan dan kebajikan saat bersiasat menghadapi dialektika zamannya. Hari ini bangsa terus dirundung kegaduhan dan akrobat banalitas yang menggerus nilai keluhuran kolektif. Bangsa ini ditantang melahirkan banyak "manusia besar" untuk mendobrak kekumuhan paradigma dan kemiskinan tindakan bersendikan penghormatan pada manusia dan kemanusiaan.
Oleh : SUWIDI TONO Koordinator Forum "Menjadi Indonesia"
Sumber: Kompas
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Zaman Besar, Manusia Kerdil".