Jokowi dan Utang Swasta

Oleh : Herdi Sahrasad

Dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Presiden Joko Widodo utang luar negeri swasta cenderung meningkat dan mengkhawatirkan. Bahkan dewasa ini utang swasta telah melebihi jumlah utang luar negeri pemerintah. Bank Indonesia menyebutkan dalam kurun sekitar 10 tahun, jumlah utang luar negeri sektor swasta meningkat tiga kali lipat.


Jika utang luar negeri (ULN) swasta itu digunakan untuk hal- hal bersifat produktif dan dalam jangkauan kemampuan membayar, maka ULN swasta menjadi hal wajar dilakukan. Namun, kerap kali ULN swasta itu berjangka pendek, tidak untuk meningkatkan ekspor dan malah untuk sektor non-tradeable yang cenderung kontraproduktif.


Utang swasta dari sebelumnya 50,6 miliar dollar AS pada akhir 2005 menjadi 80 miliar dollar AS pada akhir 2007, dan menjadi 156,2 miliar dollar AS pada akhir Agustus 2014. Posisi ULN swasta pada Desember 2014 mencapai 163,47 dollar AS. Angka itu telah mencapai 53,8 persen dari total ULN Indonesia.

Fase ”lampu merah”

Tahun 2015 ini, angka ULN swasta pada kuartal I-2015 mencapai 165,3 miliar dollar AS. Praktis, rasio pembayaran ULN swasta terhadap pendapatan ekspor atau yang dikenal dengan istilah debt service ratio (DSR) juga meningkat dari sekitar 15 persen pada 2005-2007 menjadi sekitar 54 persen pada 2015. Kondisi ini mengakibatkan kerentanan pada kondisi makroekonomi, karena tingginya DSR itu sudah memasuki fase ”lampu merah’’.

Dengan melihat kenaikan ULN swasta tersebut, masuk akal kalau hal itu sangat mengkhawatirkan. Pertama, ULN swasta rentan terhadap sejumlah risiko, terutama risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (over leverage risk).

Kedua, ULN swasta mengidap risiko nilai tukar cukup tinggi karena sebagian besar korporasi yang mengambil ULN digunakan untuk membiayai kegiatan usaha berorientasi domestik yang menghasilkan pendapatan dalam rupiah, sedangkan pembayaran ULN dilakukan dalam valuta asing (valas).

Ketiga, kenyataan itu kemudian diperparah lagi oleh banyaknya korporasi yang belum menggunakan instrumen lindung nilai (hedging). Sementara untuk risiko likuiditas, risiko ini juga cukup tinggi. Pasalnya, banyak korporasi swasta yang mengambil ULN berjangka pendek untuk kebutuhan sektor non-tradeable
Risiko likuiditas makin tinggi karena jumlah dan pangsa ULN swasta berjangka pendek terus meningkat. Sementara itu, indikasi peningkatan risiko beban utang yang berlebihan terlihat dari semakin meningkatnya rasio utang terhadap pendapatan.

Beban swasta itu kian membengkak karena diakibatkan tenornya jangka pendek. Hal ini berbeda dengan pemerintah yang beban utangnya kecil lantaran tenornya jangka panjang. Meskipun Bank Indonesia (BI) menilai secara persentase rasio utang luar negeri swasta terhadap PDB masih di level aman, tetapi bobotnya sudah menciptakan currency mismatch, disebabkan pihak swasta yang berutang dalam bentuk valas, tetapi menginvestasikannya untuk kegiatan bisnis yang menghasilkan rupiah.

Artinya, dari utang valas itu mereka tidak kembali menghasilkan valas, yang bisa membahayakan perekonomian nasional. Bahkan, sejak beberapa tahun terakhir ini peningkatan ULN swasta bisa dikatakan sudah berpotensi membahayakan perekonomian Indonesia.

Harus dicatat bahwa utang- utang swasta ini banyak terjadi currency mismatch karena realitas yang terjadi saat ini terhadap penggunaan ULN swasta lebih banyak diinvestasikan pada sektor properti dan jasa di dalam negeri. Investasi di properti ini membahayakan karena kredit jangka pendek dari luar negeri itu diinvestasikan dalam jangka panjang. Alhasil, kondisi tersebut juga berisiko menimbulkan maturity mismatch (jangka waktu) karena ULN berjangka waktu pendek digunakan untuk investasi dalam jangka panjang. Amerika Serikat pernah mengalami krisis keuangan serupa akibat kebijakan subprime mortgage karena kredit properti yang menimbulkan masalah mismatch itu.


Harus diwaspadai
Selain itu, tingginya impor yang melampaui ekspor dan meningkatnya beban repatriasi (keuntungan perusahaan swasta asing yang beroperasi di Indonesia lalu dibawa ke negara asalnya), juga berpotensi menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal, atau dikenal dengan defisit ganda, yang menjadi ancaman terbesar perekonomian Indonesia.

Celakanya pula, sebagaimana pemerintah yang memperbanyak utang, sektor swasta pun cenderung mengambil solusi yang sama untuk menutup pengeluaran dengan cara semakin memperbanyak utang luar negerinya. Akibatnya, ULN swasta kian menekan rupiah dan melemahkan ekonomi nasional.
Sampai saat ini belum ada aturan yang dikeluarkan pemerintah maupun bank sentral untuk melarang swasta menarik utang dari luar negeri. Padahal, beban utang ini juga akan meningkatkan kerentanan nilai tukar rupiah dan melemahkan fundamental ekonomi Indonesia.

Oleh sebab itu, tingginya ULN swasta ini harus diwaspadai lantaran bisa menjadi pembunuh berdarah dingin, silent killer, terhadap pertumbuhan ekonomi. Utang swasta jelas menekan nilai rupiah, dan akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus melemah, apalagi cadangan devisa kita pada 2015 ini cenderung menurun. Sementara itu, anjloknya nilai rupiah dan naiknya harga minyak dunia terbukti memperberat dan melipatgandakan ULN swasta.

Prospek ULN swasta berpotensi meningkat menyusul depresiasi nilai tukar rupiah yang diperkirakan berlanjut hingga tahun depan. Dalam kaitan ini, kekhawatiran terhadap kian membesarnya jumlah utang swasta merupakan cermin pengalaman krisis ekonomi pada 1997-1998. Apalagi, manajemen utang swasta belum sebaik pemerintah sehingga harus diawasi BI dan Kementerian Keuangan dengan ketat agar tidak terjadi masalah yang lebih besar dari peristiwa krisis 1997-1998 yang memicu anarki sosial-ekonomi dan gejolak politik.

Dari pengalaman beberapa dekade terakhir, hikmahnya jelas bagi pemerintahan Jokowi dan masyarakat: bahwa, selama pemerintah sendiri masih mengandalkan utang, maka adanya ULN swasta membuat tekanan terhadap anggaran negara menjadi lebih besar. Dewasa ini sudah terbukti bahwa beban utang swasta (dan negara) telah membuat bangsa ini masuk dalam jebakan utang (debt trap) dengan segenap konsekuensi ekonomi- politiknya.

Hal yang paling membahayakan dari ketergantungan pada utang ini adalah makin tenggelamnya bangsa kita dalam cengkeraman bangsa lain. Di sini relevansi peringatan Andre Gunder Frank (teoretikus aliran Dependencia), bahwa utang menyebabkan ketergantungan dan keterbelakangan, selain ketidakadilan dan kontraksi pertumbuhan.


Herdi Sahrasad, Peneliti Senior PSIK Universitas Paramadina dan Pengajar Paramadina Graduate School 
Sumber : Kompas 
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "Jokowi dan Utang Swasta".

Disqus Comments