Jayapura, – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, menyatakan yang dibutuhkan Papua saat ini bukan pembangunan rel kereta api atau perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia, tetapi dialog antar Jakarta-Papua untuk menyamakan cara berpikir.
Hal itu disampaikan Cahyo dalam seminar nasional yang diselenggarakan LIPI, di Jakarta, pertengahan pekan lalu.
Menurut Cahyo, Pemerintah Indonesia tak perlu khawatir kalau nanti dalam dialog Papua minta merdeka. Harus dipahami secara antropologis aspirasi merdeka orang asli Papua. Merdeka tak serta merta didefenisikan sebagai merdeka secara politik.
Katanya, dalam buku Papua Road Map pada 2004, almarhum Muridan Wijoyo menjelaskan merdeka untuk Papua adalah “M” besar bukan “M” kecil. Misalnya bagaimana orang asli Papua berkebun tanpa melihat ada militer. Itu suatu bentuk kemerdekan.
“Dalam dialog bisa dinegosiasikan ketika mereka minta merdeka. Saya pikir sebelum membangun rel kereta api dan meneruskan kontrak karya Freeport, kita harus membangun jembatan berpikir antar Jakarta dan Papua. Itu lebih penting daripada rel kereta api. Bagaimana membangun rel kereta api kalau belum ada jembatan menghubungkan antar Papua dan Jakarta. Kesenjangan ini yang harus dihadapi,” kata Cahyo.
Ia berpendapat Melanesian Spearhead Group (MSG) bisa jadi forum dialog antar Indonesia dan Papua. Yang mewakili orang asli Papua adalah United Liberation Movement For West Papua (ULMWP). Pemerintah Indonesia harus mengakui ULMWP.
“Logikanya, pertama, apakah Pemerintah Indonesia mengakui MSG atau tidak? Kalau Indonesia mengakui MSG, otomatis harus mengakui anggota-anggota MSG termasuk ULMWP. Dalam konteks ini, ULMWP dan Indonesia sama-sama anggota MSG,” ucapnya.
Konsekuwensinya ada dua. Organisasi yang mendukung MSG harus diperlakukan legal. Misalnya West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Parlemen Nasional West Papua (PNWP). Ketiga organisasi ini adalah kelompok yang pro merdeka dan berada dibawa ULMWP.
“ULMWP dan Indonesia sama-sama anggota MSG. ULMWP juga harus diakui dan dirangkul untuk dialog. Itu adalah pemikiran dari kami. Dialog Indonesia dan Papua dapat dijembatani oleh MGS dimana baik Indonesia dan ULMWP adalah anggota yang sah oleh organisasi itu,” katanya.
Masalah Papua tak bisa diselesaikan dengan senjata dan pembangunan ekonomi. Harus lebih dari itu. Ada masalah identitas, masalah trauma pelanggaran HAM dimasa lalu. Kalau persoalan-persoalan itu belum diselesaikan, apapun cara sulit menyelesaikan masalah Papua.
“Mungkin sudah saatnya membuka kembali buku yang dikarang para misionaris Belanda, bangsa lain tak bisa menyelesaikan masalah Papua, masalah Papua hanya bisa diselesaikan orang Papua sendiri,” katanya.
Di tempat yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenkopolhukam, Mayjen TNI Yoedhi Swastono, mengatakan ULMWP adalah perwakilan Melanesia Indonesia di luar negeri. Di dalam negeri, sudah dideklarasikan 6 Oktober 2015 lalu di Ambon. Persaudaraan masyarakat Melanesia Indonesia dibentuk lima gubernur yakni Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
“Persaudaraan masyarakat Melanesia Indonesia adalah organisasi kebudayaan dibawa pembinaan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jadi tak tepat kalau bicara Diaspora Papua di luar negeri hanya mewakili kelompok masyarakat Papua,” kata Yoedhi
Secara umum intinya ada ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap Jakarta dan sebaliknya.
“Jakarta pusing dalam rangka melalukan grand design. Katanya kuncinya harus ada dialog. Itu saya sepakat,” ucapnya. (Arjuna Pademme)
Sumber: http://tabloidjubi.com/