Wartawan Televisi France24, Cyril Payen. (Foto:thetibetpost.com) |
JAKARTA, - Indonesia akan menjadi tuan rumah Hari Pers Dunia yang jatuh pada 3 Mei 2017. Namun bagi sebagian kalangan, pemilihan Jakarta sebagai tuan rumah tak ubahnya kemunafikan, mengingat masih munculnya restriksi terhadap pers, terutama di Papua.
"Tahun ini, Indonesia tuan rumah World Press Freedom Day. Banyak kegiatan yang direncanakan untuk perayaan dari tanggal 1 sampai 4 Mei 2017, yang akan mencakup 1.200 peserta dari 100 negara. Tampaknya Indonesia, sebuah negara yang memiliki peringkat 124 dari 180 dalam Indeks Kebebasan Reporter Without Borders (RSF) 2017, ingin meyakinkan masyarakat internasional bahwa kebebasan media sebenarnya adalah prioritasnya. Sayangnya, catatan pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan retorikanya, terutama di Papua," tulis Victor Mambor, wartawan Tabloid Jubi, di majalah New Internationalist yang pada bulan Mei ini mendedikasikan edisi khususnya untuk Papua.
Menurut Victor Mambor, provinsi Papua dan provinsi Papua Barat menghadapi masalah serius: akses wartawan asing dibatasi, sementara kekerasan dan diskriminasi terhadap wartawan Papua serta penyuapan merupakan kejadian biasa.
Apa yang dikatakan oleh Victor Mambor semakin jelas dengan kisah yang dituturkan oleh Cyril Payen, wartawan televisi Prancis, France24 menjalani pengalaman pahit 2014 lalu setelah meliput Papua.
Setelah liputannya disiarkan secara luas, pejabat RI marah dan memanggil Dubes Prancis di Jakarta. Sejak itu ia dilarang datang ke Indonesia. Konon, pemerintah RI menganggap liputannya bias.
Organisasi Wartawan Dunia, Reporter Without Borders (RSF) telah mengutuk pelarangan itu berulang kali. Namun sampai kini restriksi terhadap wartawan asing ke Papua masih terus berlangsung.
Berikut ini kisah Cyril Payen, dalam penuturannya sendiri di New Internationalist.
Saya telah tinggal dan bekerja lebih dari 20 tahun di Asia.
Liputan saya membawa saya dari Burma ke Korea Utara, dari hutan-hutan di Filipina Selatan ke Tibet - namun masih ada satu tempat, wilayah terpencil, liar dan tidak terjangkau yang berbatasan dengan Asia dan Pasifik, yang selalu saya impikan untuk dikunjungi: Papua.
Kawasan terpencil yang dianeksasi (istilah ini selalu ditentang oleh Indonesia, Red) oleh Indonesia ini selalu menjadi fantasi wartawan, sebuah tantangan yang tidak mungkin.
Ada beberapa cerita menakjubkan selama bertahun-tahun ditulis oleh para kolega yang menghabiskan waktu berbulan-bulan di rawa-rawa Papua di antara gerilyawan yang memegang senjata, atau orang asing yang lenyap di perbatasan dengan Papua Nugini.
Juga tentang cerita para wartawan pemberani, yang ditangkap dan dideportasi dari Jayapura dan dilarang masuk ke Indonesia setelah mencoba masuk ke wilayah itu secara menyamar.
Lebih dari lima dekade yang lalu Indonesia secara brutal mencaplok wilayah ini tanpa adanya reaksi nyata dari dunia luar.
Kawasan itu selalu terlarang bagi organisasi kemanusiaan dan juga wartawan asing.
Empat puluh lima ribu tentara dikatakan saat ini ditempatkan di sini: lebih banyak dari di tempat lain di negara ini.
Tahun-tahun penindasan telah mengakibatkan ratusan ribu korban di antara penduduk Papua.
Mengapa Jakarta memiliki kepentingan di tanah ini? Mengapa mereka mempertahankannya tetap tertutup?
Kemudian, pada tahun 2014, seorang presiden baru yang berorientasi reformasi terpilih di Indonesia.
Ide, program dan niat Joko Widodo terdengar sangat menjanjikan.
Setelah beberapa bulan menjabat, presiden baru tersebut menyatakan bahwa provinsi-provinsi terlarang seperti Papua dan Papua Barat sekarang dapat diakses oleh siapapun tanpa memerlukan izin.
Kedengarannya terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, jadi saya langsung menghubungi pejabat dari Kementerian Luar Negeri di Jakarta.
Anehnya, dibutuhkan waktu kurang dari dua minggu untuk mendapatkan visa pers untuk Papua.
Pada pagi yang berkabut pada bulan Juni 2015, saya akhirnya mendarat di bandara Jayapura setelah penerbangan panjang melintasi kepulauan Indonesia yang sangat besar.
Bekerja di tempat yang telah ditutup selama puluhan tahun tidaklah mudah.
Sepenuhnya menyadari jaringan intelijen militer besar yang ada di Indonesia yang pernah saya alami di Timor Timur, Aceh dan Ambon selama bertahun-tahun, secara naluriah saya mewaspadai kemungkinan saya diikuti saat saya saat tiba di Papua, mengamati jalan-jalan dan melihat orang-orang yang khas dengan jaket kulit hitam biker - tampilan umum para polisi yang menyamar di Indonesia.
Yang lebih penting lagi, saya tidak terburu-buru untuk berhubungan dengan para pembangkang lokal dan aktivis hak asasi manusia agar tidak berkompromi dengan mereka.
Ini benar-benar harus berhati-hati, dan tidak menerima begitu saja setiap perubahan peraturan yang tiba-tiba.
Terus terang, saya mengharapkan untuk diikuti dan dimata-matai.
Setelah beberapa hari, ternyata saya meyakini saya tidak dimata-matai.
Tinggal sebentar di Jayapura, saya bisa bekerja dengan cukup leluasa, bahkan menyelinap ke penjara provinsi untuk bertemu dengan para pemimpin politik dan anggota 'Papua Merdeka' (Free West Papua).
Jayapura jelas-jelas menjadi salah satu kota industri besar di Indonesia.
Sayangnya, semua jejak budaya Papua hampir lenyap.
Melalui rencana transmigrasi yang besar dan tidak terkendali, ratusan ribu orang Indonesia telah dipindahkan ke sini.
Perubahan demografis yang dramatis telah terjadi: orang-orang Papua telah menjadi minoritas.
Jadi saya memutuskan untuk meninggalkan kota.
Dan kemudian masalah dimulai.
Saya pergi ke Lembah Baliem, di jantung pulau.
Saya melewati salah satu daerah terliar dan paling terpencil di bumi untuk mencapai Tolikara, sebuah desa bertengger hampir 2.000 meter di atas permukaan laut.
Sudah kurang dari seabad yang lalu orang luar sengaja menemukan daerah terpencil ini.
Saat ini semakin banyak orang Indonesia bermigrasi ke Tolikara, menciptakan kedamaian yang tidak nyaman dengan suku-suku setempat.
Di sini, saya mulai diikuti, dan kontak saya mulai diawasi.
Sopir Papua saya berganti secara misterius dalam semalam, digantikan oleh seorang pria Indonesia dari Jawa yang kebetulan seorang intelijen militer.
Sehari setelah kunjungan saya, insiden kekerasan imulai terjadi di Tolikara.
Polisi menembak beberapa penduduk desa setempat yang berdemonstrasi menentang kehadiran orang Indonesia.
Setelah beberapa hari memasuki Lembah Baliem, saya secara radikal mengubah cara saya bekerja, mulai sangat berhati-hati dan bergerak cepat.
Kembali ke Jayapura, dua petugas intelijen menunggu saya dengan diam-diam duduk di lobi hotel.
Tiba-tiba tampak seperti dulu.
Pembuatan film saya selesai.
Keesokan paginya, saya pergi.
Beberapa bulan kemudian, film dokumenter 'La Guerre Oubliée des Papous' saya disiarkan di seluruh dunia di France24.
Kedutaan Besar Indonesia di Paris segera bereaksi dengan memanggil Duta Besar Prancis di Jakarta ke Kementerian Luar Negeri.
Selama pertemuan menegangkan, diplomat tersebut diberitahu bahwa saya telah 'mengkhianati' kepercayaan mereka dan bahwa film saya 'bias'.
Akibatnya, visa saya ke Indonesia akan ditolak mulai saat itu.
Janji presiden ternyata tidak berlangsung lama.
(Janji) itu memang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan.
Sumber: SATUHARAPAN.COM