MAI Buka Posko Pengaduan Korban Freeport

Juru bicara MAI, Vincen Oniyoma saat berada di Posko (Sekretariat MAI) bersama ketiga rekannya. (Foto : TIM)
Timika -- Masyarakat Adat Independen (MAI) telah membuka posko pengaduan korban operasi PT Freeport Indonesia (PTF), untuk melakukan pendataan masyarakat akar rumput Amungme – Kamoro yang jeritan dan aspirasinya terbungkam selama ini.

Posko pengaduan tersebut bertempat di Jalan Trikora, Kwamki Baru, tepatnya di depan Puskesmas Timika. MAI juga akan membuka Posko sektor di sekitar 15 wilayah, baik Amungme dan Kamoro.

Juru bicara MAI, Vincen Oniyoma, mengatakan masalah yang bisa dilaporkan sebagai korban PT Freeport seperti berbagai bentuk intimidasi, kerusakan lingkungan (pendangkalan), penyakit, dan semua kasus yang menimpa masyarakat akibat operasi Freeport.

“Kami hadir sebagai media untuk para korban Freeport beroprasi selama 50 tahun. Kami siap mendampingi masyarakat akar rumput yang menderita atas segala bentuk kerusakan dan kerugian akibat Freeport,” kata Vincen saat menggelar jumpa pers, Rabu (26/4/2017).

Vincen menegaskan, bahwa sikap perjuangan MAI sangat jelas dan tidak akan mundur selangkapun. Walaupun Freeport dan pemerintah telah menemukan berbagai kesepakatan, akan tetapi hal tersebut dianggap sepihak karena masyarakat adat tidak dilibatkan.

“Keuntungan ekonomi tidak seperti yang dijanjikan. Sebaliknya kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar pertambangan justru terus memburuk, kemudian terjadi berbagai konflik akibat ketimpangan sosial. Inilah yang membuat kami terus berjuang,” tandasnya.

Karena itu, Vincen mengimbau para pihak yang mengatasnamakan lembaga adat atas kepentingan dirinya untuk menjadi tameng Freeport, agar segera menyadari bahwa sesungguhnya masyarakat adat kini masih tertindas dan hidup dalam kemelaratan luarbiasa.

“Kami minta kelompok yang memihak Freeport agar kembali dan turun sebagai masyarakat yang menjadi korban selama ini. Karena kami akan melakukan konsolidasi ke seluruh wilayah yang terdampak Freeport selama beroperasi 50 tahun,” ujarnya.

Vincen mengatakan, perjuangan MAI akan terus berlanjut sampai Pt Freeport maupun pemerintah secara terbuka mengakui lalu mengembalikan segala bentuk kerusakan dan kerugian yang mengakibatkan masyarakat Papua menjadi korban selama ini.

“Biarkan masyarakat yang menentukan masa depan pertambangan di tanah kami. Kami masyarakat adat independen dengan tegas menolak segala bentuk kesepakatan pemerintah dengan Freeport,” tegasnya.

Dewan Adat masyarakat Amungme, Thomas Wanmang, mengakui bahwa masyarakat Amungme – Kamoro hingga kini masih menjadi korban atas kehadiran Freeport. Bahkan masyarakat adat bersuara sebagai korban penipuan perusahaan asal Amerika Serikat itu.

“Apa yang orang Amungme-Kamoro bicara sebagai bentuk suara korban penipuan. Hubungan antara masyarakat akar rumput diputus dan dipecah belah oleh Freeport,” kata dia.

Selain itu, katanya, dampak lingkungan operasi Freeport seolah diabaikan padahal telah meluluh lantahkan alam habitat berbagai jenis flora dan fauna. Kehadiran Freeport juga tidak berdampak bagi kemajuan masyarakat yang kini masih hidup terbelakang.

“Untuk membuka sebuah keadilan itu harus dari masyarakat akar rumput. Luar biasa masyarakat Amungme-Kamoro 50 tahun menjadi korban penipuan saja. Freeport hadir atas kepentingan ekonomi dunia dan nasional, sementara masyarakat terabaikan,” tuturnya sedih.

Sementara Perwakikan masyarakat adat Suku Kamoro, Stevanus Warae, juga berpendapat bahwa apa yang diberikan Freeport selama ini tidak setimpal dengan segala kerusakan dan kerugian yang dialami masyarakat di sepanjang pesisir pantai Mimika.

“Alam kami luluh lantah oleh limbah perusahaan. Dusun-dusun sebagai tempat hidup masyarakat semakin habis. Sementara kami belum melihat bentuk nyata bahwa masyarakat pantai sudah jadi nelayan mandiri, atau masyarakat gunung jadi petani mandiri,” bebernya. 

Salah satu korban Freeport, mama Ema Natkime Magal, bahkan menitikkan air mata ketika mengemukakan berbagai kepedihan sebagai masyarakat adat yang hidup di atas gunug emas. Dia menyatakan kesedihan menyaksikan kekayaan alam mereka dikeruk habis menyisahkan kesengsaraan bagi masyarakat di sekitarnya.

“Saya punya emas tapi ternyata bukan. Bukan kita punya barang. Yang punya itu Amerika, Indonesia, karena kita cuma korban. Kita ini kayak sampah, bukan manusia. Saya tidak bisa bicara banyak tetapi saya sangat menyesal,” ujarnya sambil mengusap air mata. (*tim)

Sumber: http://www.nokennews.com

Disqus Comments