ADA kesan yang cukup kuat bahwa Indonesia saat ini sudah menjadi bangsa yang penakut. Atau kalaupun tidak penakut, elit yang memimpin bangsa ini terlalu sopan. Sopan yang tidak pada tempatnya.
Saking sopannya, ibarat kaki kita sudah diinjak dengan sepatu boot yang berpaku, tapi kita hanya meringis, menahan rasa sakit sembari senyum dan tidak berani mengeluh.
Seolah-olah kita manusia kebal, padahal bukan itu persoalannya.
Kita tidak mau memperlihatkan jati diri kita sebenarnya. Kita rela diinjak-injak oleh bangsa lain, bangsa kulit putih yang bersikap imperialis dan super duper arogan.
Jika dugaan atau persepsi ini benar, situasi seperti ini, patut ditangisi dan dipertanyakan.
Patut ditangisi, karena modal yang sangat berharga bagi bangsa ini, sebenarnya sudak tak ada.
Dan kalau diterjemahkan ke persoalan yang lebih luas, maknanya bisa berarti - sebagus apapun perencanaan dan gagasan-gagasan elit pemimpin kita, semuanya itu hanya menjadi wacana.
Semuanya hanya akan berakhir seperti sebuah fatamorgana di kutub Utara atau Kutub Selatan sana.
Patut dipertanyakan - ada apa gerangan? Sebab sejauh ini jargon nasionalisme itu masih sering diucapkan. Jadi pertanyaannya, benarkah ucapan itu atau sebetulnya semangat dan jiwa nasionalisme para elit pemimpin bangsa ini hanya sebatas di bibir saja.
Benarkah bangsa ini tidak ada lagi manusia yang berkarakter pemberani seperti Proklamator Ir. Soekarno?
Soekarno, sebagai Presiden pertama RI, dikenal pemberani. Modalnya sebenarnya hanya nekat. Ketika di membakar semangat bangsa Indonesia, kehidupan masyarakat Indonesia secara ekonomi masih compang-camping. Tapi ajakannya diterima rakyat yang masih hidup compang-camping. Karena kehidupan ekonomi Soekarno juga sama dengan rakyatnya.
Soekarno berani mengajak - bukan saja bangsa Indonesia, tapi seluruh bangsa yang masih tertindas di Asia dan Afrika untuk bersatu melawan kaum imperialis dan kolonialis. Karena jargon yang dia gunakan, ril, sesuai kenyataan hidup.
Benarkah elit pemimpin bangsa ini tak ada titisan darah sama sekali dari keberanian yang dilakukan Presiden RI yang ke-2 Soeharto?
Tahun 1992, Soeharto dengan tegas menolak campur tangan Ketua IGGI, Jan Pronk (Belanda), dalam soal urusan dalam negeri Indonesia.
Padahal penolakan itu sama dengan penolakan sejumlah dana triliunan rupiah bagi pembangunan Indonesia. Penolakan itu sama dengan penghinaan Indonesia kepada bangsa yang lebih maju, lebih mapan.
Soeharto yang dikesankan 'boneka' Barat atau AS, justru berani mengatakan "tidak" kepada yang Barat.
Pesan moral atas contoh ini adalah elit pemimpin kita saat ini, tidak mewarisi karakter yang patut dibanggakan dari dua pemimpin bangsa yang kharismatik dan melegenda.
Situasi yang penuh rasa takut seperti sekarang ini - sekali lagi kalau persepsi ini benar - dimana elit menjadi penakut, merupakan situasi yang kontradiktif dengan sikap rakyat secara keseluruhan.
Sebab sejatinya rakyat memiliki sikap dan jiwa militan - terutama jika sudah dihadapkan pada soal martabat bangsa.
Elit pemimpin kita mestinya bisa membaca dan bangga bahwa rakyat Indonesia akan selalu mendukung pemerintah bila diajak melawan kesewenang-wenangan bangsa lain terhadap Indonesia.
Jangan hanya mengajak memberantas korupsi. Apa yang dihadapi Indonesia, kalau terus-terusan dipimpin dengan semangat penakut, lebih korup dari korupsi itu sendiri.
Yang lebih memprihatinkan lagi, elit kita lebih senang berkelahi di antar sesama mereka. Tetapi tidak berani menghadapi bangsa lain. Elit pemimpin kita hanya jago kandang.
Penilaian sementara ini menyeruak, setelah melihat reaksi pemerintah Indonesia yang terkesan pasif. Pemerintah seperti membiarkan Dubes AS Robert Blake melakukan 'manuver' di Papua pekan ini.
Pemerintah kita dingin, tak punya ekspresi dan tidak peka!
Benar, diplomat AS di Indonesia itu memiliki hak melakukan pemantauan tentang situasi negara dimana dia ditugaskan.
Namun melihat "caranya" melakukan pemantauan di Papua, Blake tidak lagi murni berperan sebagai wakil negara sahabat. Dia sudah melakukan peranan seperti NGO bahkan sedikit meniru cara provokator mencari sesuap nasi.
Kunjungannya ke Papua, terkesan terlalu demonstratif. Seakan-akan, Papua merupakan provinsi Amerika Serikat yang berada wilayah seberang Samudera Pasifik. Sehingga dia bebas melakukan apapun kehendaknya.
Seolah-olah, sebagai negara kaya raya, dia datang ke Papua dengan membawa mata uang dolar yang tidak terbatas serinya, untuk dibagikan secara cuma-cuma kepada semua penduduk miskin di Papua. Dan dengan uang sebanyak itu, dia bebas berprilaku. Dia bisa membeli siapapun.
Kita sudah lebih dulu kalah gertak dengan Blake. Padahal belum tentu kebijakan Gedung Putih atau Presiden AS Barack Obama seperti yang diterjemahkan diplomat tersebut.
Dubes Blake dan rombongan pada 17 Januari kemarin, datang ke Papua dengan pesawat khusus Dorier 328. Dengan cara ini saja, diplomat AS itu sudah memperlihatkan kekhususan dan kelebihan negaranya.
Padahal kalau para elit pemimpin kita mau bersikap kritis saja. Tidak usah sampai 100 persen, cukup 1 persen saja, barangkali akan muncul kesadaran. Bahwa apa yang dilakukan oleh Dubes Robert Blake di Papua, sudah melewati batas kewajaran.
Diplomat itu sudah melanggar rambu-rambu etika dalam dunia diplomasi.
Dubes itu tak lagi memperhitungkan perasaan tuan rumah. Atau boleh jadi dia sebetulnya tahu tata krama dalam diplomasi, tetapi niatnya untuk menguji kepekaan pemerintah Indonesia, sengaja dia pertontonkan.
Pada akhirnya dalam bahasa sinikal, Indonesia dia jadikan sebagai tempat bereksperimen.
Niatnya untuk menguji apakah pemerintah Indonesia kuat sehingga berani berkata "tidak", sengaja dia ujikan.
Sesuai laporan yang belum terkonfirmasi, setiba di bandara Rendani, Manokwari, Papua Barat pada 17 Januari 2016 sekitar pukul 09:43 (Waktu Indonesia Timur) - hari pertama Dubes Blake menginjakan kakinya di bumi Papua, langsung mengadakan pertemuan dengan para aktifis dan tokoh gereja setempat. Tempat pertemuan di Swissbell Hotel, Manokwari.
Yang cukup mengejutkan, yang menjadi bahan diskusi adalah masalah yang di Indonesia dianggap sensitif. Yaitu berkaitan dengan SARA.
Bayangkan, kita sesama bangsa Indonesia saja harus dengan penuh perhitungan dan kehati-hatian, jika ingin membahas soal SARA (Suku, Agama, Rasial dan Antargolongan). Tapi Blake dengan para aktifis, enak saja. Bebas.
Selain itu tanya jawab diplomat AS itu dengan para tokoh setempat tersebut, sarat dengan pesan atau nuansa subyektif.
Dalam arti, hampir tidak ada hal yang positif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Dan berdasar penilaian sepihak itu, lalu pertanyaan pun dilakukan secara eksploitatif.
Menganggap semua yang dilakukan pemerintah Indonesia di Papua sebagai tidak benar, jelas sudah tidak obyektif dan proporsional.
Blake juga berbicara soal pelanggaran HAM. Emangnya AS merupakan negara yang paling menghormati penegakan HAM?
Sudah begitu para aktifis yang diwawancara oleh Blake, berhasil dipancing emosi ketidak sukaan mereka kepada pemerintah Indonesia.
Sampai-sampai muncul pernyataan, seolah-olah bumi Papua, sebetulnya bukanlah milik Indonesia. Bumi Papua, katanya milik dunia. Sebab ketika dilakukan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) oleh PBB di tahun 1969, hasilnya, Papua yang dulu milik Belanda, diserahkan ke PBB. Jadi PBB lah yang berhak atas Papua.
Dari sini saja sudah bisa dilihat - logika yang sedang digiring adalah kembalinya PBB merevisi keputusannya tahun 1969 atas status Papua. Edan!
Dari sisi sopan santun - dengan tidak melakukan pertemuan terlebih dahulu dengan Gubernur Papua Barat atau pejabat tinggi daerah lainnya, agenda Dubes AS itu, sudah memperlihatkan adanya sesuatu yang sedang dikejar.
Dia tidak bersikap seperti Orang Timur ketika bertamu. Mengetuk pintu dulu dan bertemu dengan tuan rumah.
Gaya Barat yang ignorent terhadap orang-orang sekitar, benar-benar dipratekannya. Mengingatkan informasi yang disampaikan Budi Setiawan, warga Indonesia yang pernah bekerja sebagai wartawan Voice of America, mengandung kebenaran hakiki.
Bahwa Blake merupakan diplomat yang tidak segan-segan membikin pemerintah sebuah negara, menjadi kelabakan. Seperti yang dilakukannya di Sri Lanka, saat Blake bertugas sebagai Dubes AS di sana.
Tidak dibayangkan, apakah pemerintah AS bisa memberi perlakuan secara resiprokal kepada Dubes kita di Washington atau negara lain yang dianggap lebih kuat. Katakanlah seperti Rusia.
Yaitu Rusia melakukan investigasi tentang kehidupan suku bangsa Indian, penduduk asli Amerika, yang tinggal di pelbagai pedalaman AS. Dan kehidupan mereka masih terkebelakang.
Lantas Dubes RI atau Dubes Rusia datang kesana dan menanyakan, bagaimana sikap mereka terhadap pendatang kulit putih di benua Amerika Utara itu.
Atau Dubes RI maupun Dubes Rusia mewawancarai para tokoh Islam serta warga Hispanik. Dengan sebuah persepsi yang sudah dibangun terlebih dahulu, bahwa mereka semua merupakan warga AS yang dimarjinalkan oleh Washington.
Yah, diplomat kita mungkin tak akan bisa berpikir sampai ke sana. Selain karena terlalu sopan atau juga karena kendala dana taktis.
Tetapi sebagai sebuah pembanding, saya kok kurang yakin jika Washington atau Kementerian Luar Negeri yang dipimpin John Kerry, bakal mengizinkan investigasi diplomat asing seperti itu.
Selamat Pagi Indonesia. Ayoh bangun. Matahari di wilayah Papua, sudah lebih dulu bersinar. [***]
OLEH: DEREK MANANGKA
*penulis merupakan jurnalis senior