Peneliti masalah miiter dan sosial politik asal Indonesia, Made Tony Supritama, yang kini bermukim di Amerika Serikat, mencatat bahwa sejak menjabat Presiden RI, Joko Widodo memberikan perhatian yang besar kepada Papua.
Namun dia mengingatkan, satu hal mendasar yang tidak pernah diakui Jakarta adalah bahwa masalah Papua adalah masalah politik.
"Saya kira, ini adalah daerah Indonesia yang paling sering dia kunjungi sebagai presiden. Dalam kunjungan terakhir, dia meresmikan banyak proyek, persis seperti yang sebelumnya," kata peneliti sekaligus pengamat masalah sosial dan politik yang akrab disapa dengan panggilan Made Tony.
Namun dia juga mengemukakan, dalam kunjungan terakhirnya, Jokowi sama sekali tidak membicarakan kondisi politik Papua.
Jokowi juga tidak menanggapi penembakan oleh aparat Indonesia pada awal bulan Desember 2015 maupun penembakan terhadap polisi beberapa hari sebelum dia datang.
"Rupanya, ini semua sudah dia anggap selesai terutama dengan pembebasan secara simbolik beberapa tahanan politik --yang didalam masih banyak sebenarnya," kata Made Tony yang menuliskan catatannya tersebut di IndoProgress serta mengunggahnya di media sosial.
Masih dalam catatan Made Tony, Presiden Jokowi juga tidak berbicara tentang kematian anak-anak di Kabupaten Nduga.
Bahkan, ketika dia menanam kapsul waktu 70 tahun Indonesia ke depan di Merauke, Papua sama sekali tidak ada di dalamnya.
"Satu hal yang ditekankan Jokowi dalam kunjungan kali ini ialah pembangunan infrastruktur. Dia berjanji akan membangun jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota di Papua. Bahkan pembangunan jalan kereta api akan dimulai tahun ini di Sorong. Entah kemana kereta api ini akan melaju," tulisnya.
Jokowi juga tercatat meresmikan pabrik sagu terbesar di tanah air. Di koran-koran, ujarnya, terpapar optimisme para petinggi pabrik sagu itu.
"Orang-orang lokal bisa mendapatkan Rp 120 ribu per hari dengan menyetor satu batang pohon sagu ke perusahaan. Sepertinya hidup tiba-tiba menjadi sangat, teramat sangat indah di dearh Kias, Sorong Selatan," ujarnya masi dalam catatannya.
Sementara di media sosial, seperti biasa, orang berdebat. Banyak orang mengkritik langkah Jokowi. Lebih banyak lagi yang mendukung.
"Katanya, Papua dibangun, salah. Kalau tidak dibangun, dibilang menelantarkan. Benarkah disitu letak persoalannya?" ujarnya bertanya.
Masalah mendasar Papua
Made Tony mengingatkan, satu hal mendasar yang tidak pernah diakui oleh Jakarta adalah bahwa masalah Papua adalah masalah politik. Pembukaan besar-besaran Papua hanya akan berakibat musnahnya bangsa Papua.
"Pembangunan jalan-jalan ini hanya akan memudahkan arus migrasi dari luar Papua masuk ke Papua, menjadikan bangsa asli Papua sebagai minoritas di tanahnya sendiri, dan kemudian memusnahkannya. Jalan-jalan ini adalah jalan pemusnahan, jalan genosida," tegas aktivis dan alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gajah Mada yang sedang menyesaikan studi doktoralnya di Universitas Cornell
Made Tony kemudian membuat perbandingan sederhana antara Papua dan Papua New Guinea. Pada tahun 1970, penduduk Papua New Guinea berjumlah sekitar 2,4 juta jiwa. Saat ini (2015), Papua New Guinea memiliki penduduk 7,55 juta jiwa.
Papua pada 1971 berpenduduk 923 ribu jiwa.
Kini penduduk Papua (Propinsi Papua dan Papua Barat) berjumlah hanya sekitar 4 juta jiwa (3.5 juta menurut sensus 2010). Dari 4 juta jiwa itu hanya setengahnya atau dua juta jiwa adalah penduduk Papua asli.
"Jadi penduduk Papua New Guinea bertambah tiga kali lipat dalam waktu 45 tahun. Sementara, penduduk di bagian Barat hanya bertambah dua kali lipat.
Apa yang menyebabkan?
Silahkan mencari jawabnya sendiri," tuturnya. (wip)
Sumber: Wartakota