
Dalam dokumen itu disebutkan pemerintah Indonesia telah menyusun suatu berkas rahasia yang secara rinci mendata "kelemahan" dari tokoh-tokoh Papua, semisal kegemaran pada wanita dan alkohol. Dokumen ini dipakai sebagai strategi untuk menekan gerakan kemerdekaan Papua.
Dokumen yang diberi judul Rencana Aksi Papua, tertanggal Maret 2014 - beberapa bulan sebelum Joko Widodo menjadi presiden. Dokumen itu memiliki logo BIN dan tampaknya berasal dari Deputi II Kepala BIN.
Fairfax Media yang mencoba meminta konfirmasi dari BIN mendapat jawaban bahwa lembaga itu akan mengadakan penyelidikan inetrnal dengan segera untuk mengetahui dari mana sumber dokumen tersebut.
"BIN tidak pernah mengeluarkan dokumen tersebut," kata Direktur Informasi BIN, Sundawan Salya, sebagaimana dilansir oleh Sydney Morning Herald hari ini (3/2).
"Kami melakukan operasi intelijen dan karena itu tidak akan pernah menggunakan dokumen terbuka seperti itu," kata dia.
Menurut Fairfax, dokumen rahasia yang bocor itu menargetkan pemimpin agama, aktivis politik dan mahasiswa Papua yang tinggal di luar provinsi itu.
Dokumen tersebut, menurut Fairfax, memuat daftar kekuatan dan kelemahan sejumlah tokoh Papua dan menjelaskan taktik untuk menekan gerakan pro kemerdekaan di sana. Juga digambarkan bagaimana taktik untuk memecah opini yang ada dalam gerakan pro kemerdekaan.
Di antara tokoh yang masuk dalam daftar itu adalah Markus Haluk, mantan ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia. Dokumen tersebut melaporkan bahwa Haluk sering menghadiri seminar yang menuntut pembebasan Papua dan selalu mengeritik kebijakan pemerintah.
Menurut dokumen, kekuatannya adalah kemampuannya untuk memotivasi warga pegunungan Papua yang tidak berpendidikan universitas dan menciptakan "propaganda melalui media".
Kelemahannya? "Uang dan perempuan," demikian dokumen yang diperoleh Fairfax Media.
"Saya pikir itu pelecehan terhadap martabat dan karakter saya," kata Haluk kepada Fairfax Media.
"Saya punya istri, saya bukan playboy. Saya tahu ada banyak cara Indonesia (mencapai tujuannya). Ini strategi intelijen, strategi Jakarta untuk membunuh seorang pejuang."
Haluk mengatakan dia tidak akan takut atau panik. "Perjuangan saya adalah untuk menyelamatkan orang Papua. Saya tidak disponsori atau dibayar oleh siapa pun. Dan saya akan terus berjuang sampai kebenaran ditegakkan di Papua."
Tokoh lain yang masuk dalam daftar BIN adalah Beny Dimara. Dia adalah seorang tokoh agama terkemuka yang bekerja dengan mahasiswa Papua di Yogyakarta. Dalam dokumen ia digambarkan sebagai seseorang yang "mengikuti politik separatis".
Namun, kepada Fairfax Media, Beny Dimara mengatakan dia tidak ada hubungannya dengan kegiatan pro-kemerdekaan.
"Saya seorang imam dan perhatian saya hanya satu, yaitu membuat pemuda Papua lebih baik dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan dan dalam pendidikan mereka," kata dia.
Teolog dan aktivis, Benny Giay, juga masuk dalam daftar. Ia digambarkan sebagai "pendeta terkemuka yang dapat mempengaruhi dan dapat membangkitkan semangat separatis."
"Ini adalah paranoid, ini gila," kata dia, ketika diberitahu tentang keberadaan dokumen itu.
"Mereka (pemerintah) sering mengikuti kami atau mengirim wartawan untuk mewawancarai kami pada topik-topik tertentu. Mereka akan menghadiri konferensi pers, menghadiri pertemuan gereja kami," kata dia.
Dokumen itu juga memuat target minimal dan target maksimal, yang diharapkan dicapai dalam rentang waktu April hingga Oktober 2014.
Target minimal adalah membuat tokoh-tokoh yang ada dalam daftar tersebut tidak mempersoalkan pelanggaran HAM di Papua atau membuat mereka menolak kemerdekaan Papua.
Ada pun target maksimal ialah para tokoh itu mendukung NKRI dan mendukung UU Otonomi Khusus Papua yang kala itu sangat kuat didorong oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebuah dokumen yang diklaim berasal dari Badan Intelijen Negara (BIN), memuat daftar tokoh Papua yang dicurigai memiliki inspirasi untuk merdeka. Dokumen itu juga memuat kelemahan dan kekuatan para tokoh.
Salah seorang yang masuk dalam daftar itu ialah Markus Haluk, mantan ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia. Dokumen tersebut melaporkan bahwa Haluk sering menghadiri seminar yang menuntut pembebasan Papua dan selalu mengeritik kebijakan pemerintah.
Menurut dokumen, kekuatannya adalah kemampuannya untuk memotivasi warga pegunungan Papua yang tidak berpendidikan universitas dan menciptakan "propaganda melalui media".
Ada pun kelemahannya: Uang dan wanita.
Dokumen tersebut diperoleh oleh kantor berita Australia, Fairfax Media dan dilansir oleh Sydney Morning Herald hari ini (3/2).
BIN menolak adanya dokumen tersebut dan mengatakan akan melakukan penyelidikan dari mana sumbernya.
"BIN tidak pernah mengeluarkan dokumen tersebut," kata Direktur Informasi BIN, Sundawan Salya, sebagaimana dilansir oleh Sydney Morning Herald hari ini (3/2).
"Kami melakukan operasi intelijen dan karena itu tidak akan pernah menggunakan dokumen terbuka seperti itu," kata dia.
Dokumen ini yang diberi judul "Rencana Aksi Papua", bertanggal Maret 2014. Itu berarti beberapa bulan sebelum Joko Widodo menjadi presiden RI. Dokumen dengan logo BIN itu digambarkan berasal dari Deputi II Kepala BIN.
Markus Haluk yang dimintai konfirmasi tentang dokumen tersebut mengatakan ia tidak panik atas tuduhan pada dirinya, terutama soal kelemahannya.
Menurut dia, hal itu merupakan pelecehan atas martabat dirinya.
"Saya punya istri, saya tidak playboy. Saya tahu ada banyak cara Indonesia (mencapai tujuannya). Ini strategi intelijen, strategi Jakarta untuk membunuh seorang pejuang," kata dia sebagaimana dikutip oleh Fairfax Media.
Dia mengatakan akan terus berjuang "sampai kebenaran ditegakkan di Papua."
Ia juga berpendapat strategi intelijen tersebut terbukti tidak berhasil.
"Papua telah dimasukkan ke Indonesia sejak akhir 1960-an tetapi orang masih mengibarkan bendera Bintang Kejora di hutan, protes menuntut pemisahan Papua dari Indonesia masih berlangsung," kata dia.
Tokoh agama, Beny Dimara, yang bekerja dengan mahasiswa Papua di Yogyakarta, juga dimasukkan sebagai tokoh yang diamati oleh BIN. Ia digambarkan sebagai pengikut politik separatis. Namun, Beny menolak tuduhan itu.
"Saya seorang imam dan perhatian saya hanya satu, membuat pemuda Papua lebih baik dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan dan dalam pendidikan mereka."
Bukan hanya sekali ini Fairfax Media memperoleh dokumen rahasia tentang kegiatan mata-mata terhadap tokoh Papua.
Dokumen Kopassus pada tahun 2011 juga bocor ke Fairfax Media pada tahun 2011. Dokumen itu mengungkapkan adanya pengawasan yang ketat terhadap anggota perlawanan bersenjata Papua serta terhadap sejumlah warga Papua.
Informasi intelijen periode 2006-2009 itu mengungkapkan informan-informan menyusup ke setiap aspek kehidupan sehari-hari di Papua, termasuk pengawasan terhadap turis AS saat mereka menghadiri tarian tradisional di luar ibukota Jayapura, untuk mencari tahu apakah mereka akan bertemu dengan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan.
Agus Sumule, dosen Universitas Papua, mengatakan Papua adalah satu-satunya kelompok etnis di Indonesia yang dimata-matai oleh pemerintahnya sendiri.
"Indonesia mendekati Papua dengan sikap rasisme dan paternalistik," kata Agus.
"Perasaan menjadi bagian dari Indonesia tidak ada pada rakyat Papua karena stigma yang dikenakan kepada rakyat Papua bahwa kami ini separatis, bahwa kami tidak mampu melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh orang di pulau Jawa...."
Sebuah laporan yang dibuat oleh direktur Institute for Policy Analysis untuk Konflik di Jakarta pada 2015 mengatakan Papua menghadapi indikator pembangunan terendah.
"Pemerintah Indonesia terus-menerus gagal menyelesaikan masalah ini, yang menyulut gerakan kemerdekaan," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Sumber: www.satuharapan.com